Sistem perwakilan melalui MPR oleh kalangan barat dianggap sentralistik dan dianggap melanggar demokrasi.
Maka diciptakanlah sistem baru dengan dasar prinsip
check and balance, yakni pemisahaan kekuasaan menjadi cabang cabang kekuasaan yang setara. Lalu lembaga tinggi negara dibagi menjadi cabang cabang kekuasaan yang setara.
Tidak ada lembaga tertinggi negara lagi. Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, semua setara. Semua lembaga negara pun setara, MPR, DPR, Presiden, DPA, setara kedudukannya.
Tidak lupa jika ada perselisihan maka dilahirkan MK untuk menilai konstitusi. Berbeda dengan Presiden dan DPR, MK tidak dipilih secara langsung namun diangkat.
Sistem
check and balance berakar dari dari sejarah masyarakat individualisme Barat, yang melahirkan sistem persaingan ala kapitalisme barat, yang memandang bahwa persaingan adalah cara terbaik dalam mengubah keadaan sosial, mencapai kemajuan dan bahkan lebih jauh dipercaya sebagai jalan meningkatkan kesejahteraan dan bahkan dipercaya dapat mewujudkan keadilan.
Sebenarnya istilah lain dari
check and balance adalah
management by conflict yakni sebuah cara mengubah keadaan dengan konflik.
Manajemen konflik sendiri berasal dari teori filsafat materialisme barat disebut sebagai filsafat kontradiksi, yakni perubahan keadaan benda benda dan keadaan sosial dengan kontradiksi yang dipandang sebagai sifat dasar benda benda tersebut dan juga sifat masyarakat. Dalam kapitalisme dinamakan persaingan.
Lalu bagaimana pelaksanaan teori
check and balance Indonesia? Sekarang dapat kita lihat hasilnya dengan kasat mata dalam praktik pembuatan UU dan pelaksanaannya.
DPR membuat UU dan mengesahkannya atas kehendaknya sendiri, lalu setelah UU dibuat lalu UU ini dibatalkan oleh 9 hakim MK menurut pemahamannya sendiri, selanjutnya pemerintah dapat melaksanakan keputusan MK atau menundanya, atau tidak melaksanakannya menurut pertimbangan pemerintah sendiri.
Menurut DPR UU sudah sah, namun menurut MK UU tersebut melanggar konstitusi UUD 45 amandemen dan menurut Presiden regulasi tersebut tidak dapat dijalankan karena berbagai alasan, lalu presiden dapat menerbitkan Perppu atas dasar keadaan darurat.
Maka terjadilah 'chek chok', atau cekcok ala emak-emak, cekcok karena senggolan motor, karena gibahan orang, rebutan colok antrean, rebutan pelanggan jual beli
online di komplek, dan hal yang remeh temeh lainnya.
Cekcok ini dasarnya adalah karena masing masing lembaga memperjuangkan kepentingannya sendiri-sendiri, nasibnya sendiri-sendiri, lapaknya sendiri-sendiri. Mereka semua cekcok bukan karena bangsa dan negaranya terancam bahaya keselamatannya.
Kita tonton saja mereka baku jambak jangan dilerai dulu.
Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)
BERITA TERKAIT: