Pasca debat terakhir Biden-Trump (27/6), beberapa jajak pendapat nasional menunjukkan penurunan elektabilitas Biden. Bahkan, 72-74 persen pemilih menilai ia terlalu tua untuk kembali memimpin, sementara Trump lebih unggul 6-10 persen.
Awalnya, Biden tak mau mundur. Kemungkinan besar, ada dua alasan. Pertama, Biden adalah politisi profesional. Seperti halnya tentara profesional, seorang politisi profesional tak mengenal kata menyerah. Ia akan berjuang hingga titik dara penghabisan.
Karier politik Biden dimulai tahun 1972, ketika ia terpilih sebagai senator dari Delaware, di usia 30 tahun. Ia menjadi senator selama 37 tahun sebelum akhirnya terpilih sebagai wakil presiden AS, mendampingi Barack Obama pada 2009, selama dua periode.
Puncaknya, ia terpilih sebagai Presiden ke-46 AS pada 2021, mengalahkan petahana, Presiden Trump. Ia memperoleh lebih dari 81 juta suara atau 51,3 persen, serta 306 suara elektoral. Suara ini jumlah suara tertinggi sepanjang sejarah pilpres AS.
Alasan kedua, Biden tidak menyadari adanya hambatan usia, yang secara alamiah membuat dirinya tak lagi fit untuk maju sebagai capres. Empat tahun lalu saja, pada saat terpilih sebagai presiden AS, usianya sudah 79 tahun.
Namun, karena elektabilitas dirinya terus merosot, terutama pascapenembakan terhadap Trump (13/7), Biden pun mundur. Sebagai patriot, ia berkorban untuk kepentingan yang lebih besar.
Bagi Biden, memenuhi harapan publik agar Trump tak lagi terpilih jadi presiden jauh lebih penting dibanding memperjuangkan periode kedua pemerintahannya. Karena itu, ketika menyadari dirinya tak mungkin lagi menang, ia memilih mundur daripada terus maju dan dikalahkan Trump.
Reaksi Trump dan kubunya seperti kebakaran jenggot. Mereka panik dan seolah tak siap. Mereka tak menyangka Biden akan mundur. Trump mengira Biden akan terus melanjutkan pencalonan sehingga ia yakin akan mengalahkan Biden dengan mudah.
Kepanikan itu tecermin dari serangan-serangan sporadis yang mendiskreditkan Harris. Saluran media sosial resmi Komite Nasional Partai Republik menerbitkan sebuah video berdurasi dua menit (21/7) yang menyerang Harris soal kebijakan imigrasi.
Trump menyebut Harris tak kompeten. JD Vance, cawapres Trump, menuduh Harris telah berbohong selama hampir empat tahun tentang ka pasitas mental Biden. Vance mencemooh Harris sebagai pendamping dari presiden terburuk sepanjang hidupnya.
Di sisi lain, masyarakat Amerika terbelah; ada yang suka Trump dan ada yang tak suka. Menurut beberapa survei nasional, hanya 35-40 persen pemilih yang menyukai Trump. Lebih dari 51 persen pemilih menilai Trump dengan pandangan buruk. Namun, meski tak suka Trump, mereka tidak lantas menyukai Biden.
Peringkat kesukaan pada Biden kini lebih rendah di banding ke Trump, yaitu 32 persen. Bahkan, 55 persen pemilih memiliki pandangan tak baik soal Biden.
Hampir tak ada pergerakan dalam peringkat kesukaan Biden selama setahun terakhir. Yang menarik, 15 persen warga AS adalah "pembenci ganda", tak suka baik Trump maupun Biden.
Harris energi baruPilpres AS makin menarik untuk diteropong. Di tengah publik yang skeptis atas ke menangan Biden, kemunculan Harris memberikan energi baru. Memang Demokrat belum secara resmi menominasikannya sebagai capres. Namun, dengan waktu yang tinggal empat bulan, sulit rasanya mencari capres dari Partai Demokrat yang menandingi popularitas Harris.
Bagi Demokrat, tentu lebih menguntungkan mengusung Harris. Ia bisa saja kalah, tapi tetap memiliki peluang menang. Bandingkan jika mengsung Biden, kemungkinan kalahnya lebih besar karena elektabilitas terus merosot.
Munculnya Harris sebagai bakal capres membangkitkan gairah warga Amerika. Ada semacam "excitement", dollar AS yang sebelumnya sempat melemah kembali menguat.
Dengan kondisi public mood seperti ini, peluang Harris untuk menang cukup besar. Namun, ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi Harris untuk memenangi pilpres ini.
Pertama, tim kampanye yang tangguh. Waktu kampa nye sangat pendek. Sulit bagi Harris untuk keliling di 50 negara bagian. Ia harus selektif mendatangi daerah penentu suara. Selebihnya, ia harus memercayakan kepada timnya untuk turun di sisa negara bagian lainnya.
Kedua, narasi yang kuat. Harris harus mampu mengangkat lima tema besar yang menjadi isu dan perhatian publik. Jangan terpancing oleh provokasi Trump. Rakyat Amerika ingin persatuan. Mereka ingin kedamaian. Dan lebih penting lagi, mereka ingin solusi nyata atas persoalan ke hidupannya sehari-hari.
Ketiga, dukungan suara dan logistik yang besar. Harris harus mampu mengonversi pendukung Demokrat, pendukung Biden, dan orang yang tak suka Trump menjadi pemilihnya. Harris juga harus mampu merangkul para donatur untuk membantu kampanyenya, baik skala kecil maupun besar.
Jika mampu memanfaatkan momentum yang sangat pendek ini dan bisa memenuhia tiga prasyarat tadi, bukan tidak mungkin Harris akan terpilih menjadi presiden AS. Ia akan menjadi presiden Asia-Amerika sekaligus presiden perempuan pertama AS.
Namun, jika Kamala Harris gagal melakukan itu semua, Donald Trump akan terpilih kembali menjadi presiden AS untuk kedua kalinya. Manakah dari dua kemungkinan itu yang akan benar-benar ter jadi? Takdir sejarah yang akan membuktikannya.
BERITA TERKAIT: