Ragam Pertama: Kebebasan Konservatif, yaitu kebebasan untuk memenuhi hak hak dasar manusia. Kebebasan merupakan konstruksi atau ciptaan pikiran manusia yang eksis terkait praktik dan keyakinan individu pada hak asasi manusia untuk memperkuat eksistensinya diantaranya adalah kebebasan untuk berbicara, menulis, menyampaikan gagasan dll. Kebebasan dalam pengertian ini berarti suatu wilayah dimana seseorang dapat bertindak tanpa dihalang-halangi oleh orang lain. Jika saya dihalang-halangi oleh orang lain untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan, maka sampai tingkat tertentu saya tidak bebas, dan jika wilayah ini dipersempit melebihi batas minimum, maka: saya menganggap saya dikekang, atau dengan kata lain saya diperbudak, saya ditindas!!!
Ragam Kedua: Kebebasan Negatif "bebas dari", yaitu kebebasan yang seiring dengan perjalanan waktu, pengalaman sejarah dan kebebasan berbicara, menulis dan menyampaikan gagasan telah menjelma menjadi kebebasan yang telah bersentuhan dengan nilai nilai (norma), agama, moral, hukum, etika dll. Kedua ragam kebebasan harus berjalan seiring dan saling melengkapi.
Dalam konteks Indonesia, saya melihat sejak kontestasi politik menjelang perhelatan akbar "Pesta Demokrasi" 2014-2019-2024, narasi politik kebencian terus dan semakin menguat. Media menjadi alat transformasi informasi efektif untuk mempengaruhi opini publik. pola berpikir pola tindak masyarakat. Efek "Hipodermik" menjadikan pihak penguasa media secara langsung mempengaruhi pengetahuan, keyakinan, tindakan politik warga Negara. Ia meng-injeksi informasi dan opini benak publik yang tidak melawan, efeknya adalah seperti obat yang di injeksikan ke dalam aliran darah.
Indonesia Dibangun Melalui Perdebatan
Sejak awal, jauh sebelum Indonesia Merdeka: intelektual, tokoh-tokoh Pers dan Aktivis Pergerakan Nasional: Raden Mas Tirto Adhi Surjo (TAS), Mas Marco Kartodikromo, Dr Wahidin Soediro Hoesodo, HOS Tjokroaminoto, Djamaluddin Adi Negoro meretas jalan perjuangan untuk bebas dari "Kolonialisme Belanda".
Tirto Adhi Surjo (TAS) dikeluarkan dari Sekolah Dokter STOVIA Jakarta setelah 6 tahun menempuh masa studi karena 2 hal. Pertama: TAS terlalu aktif sebagai jurnalis dan menulis artikel-artikel di beberapa surat kabar; Kedua: TAS ketahuan mengeluarkan resep obat untuk mengobati sahabatnya. TAS sejak 1905 adalah orang Indonesia pertama yang menerbitkan koran sendiri, dimodali, dikelola serta diisi oleh para jurnalis Bumiputera, Adi Negoro adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta (STOVIA) yang tidak tuntas menyelesaikan pendidikan dokter mencoba mencari jalan lain untuk mencerdaskan masyarakat agar terbebas dari penindasan Kolonial Belanda melalui Media sebagai Jurnalis. Generasi muda berikutnya adalah Soekarno, Sutan Syahrir, Hatta, Tan Malaka M Natsir membangun Indonesia dengan narasi "Perdebatan". Sutan Syahrir, tokoh muda Politik dan Pergerakan Nasional sebagai pelajar AMS jurusan Budaya dan Sastra Klasik di Bandung (1926-1929) sekaligus pimpinan "Kelompok Diskusi" men-debat, menegur dengan keras seorang pembicara (Soekarno Muda) dikarenakan Soekarno selalu menggunakan bahasa Belanda, dan kurang menghormati peserta debat seorang wanita (Suwarni-Kelak menjadi Istri Mr Karim Pringgodigdo Menteri Sekretaris Negara).
Nama-nama besar, Soekarno, Sutan Syahrir dan M Natsir telah menjadi tokoh sentral pada era Kemerdekaan dan menjadi Presiden dan Perdana Menteri Republik Indonesia. Demikian pula dengan Mohammad Natsir sebagai Ketua merangkap anggota Partai Islam Masyumi, dalam rapat Paripurna DPR RIS 3 April 1950 menyampaikan "Mosi Integral". Mosi Integral M Natsir diterima oleh Hatta dan Indonesia kembali dalam bentuk "Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Pada 7 September 1950, Presiden Soekarno Mengangkat Mohammad Natsir menjadi "Perdana Menteri Pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia" menggantikan M Hatta. Sekali lagi!!!! Peran para senior jurnalis, pejuang kemerdekaan, saya ungkapkan untuk mengingatkan kembali bahwa ada ancaman-ancaman baru (Kolonialisme Baru) tanpa menggunakan senjata terus menggerus Sumber Daya Nasional, Keutuhan dan Kedaulatan Negara.
Kebebasan Institusi Pendidikan Sebagian masyarakat Indonesia khususnya para pendidik (Dosen), intelektual, politisi dikejutkan dengan diberhentikan "Prof DR dr Budi Santoso; SpOG; FER" sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Pemecatan ini telah dianulir, dan beliau dikukuhkan kembali sebagai Dekan FKG Universitas Airlangga Surabaya, namun tidak menghentikan perlawanan guna mencegah terjadinya Pendadakan Strategis.
Pemberhentian ini dikaitkan dengan penolakan BS atas kebijakan Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin yang mengimpor dokter asing (Naturalisasi). Civitas Akademika Universitas Airlangga menolak gagasan Menteri Kesehatan untuk mengimport dokter asing masuk ke Indonesia. Ini tentang ketidakadilan (
in justice) dunia pendidikan.
Indonesia tidak kekurangan Dokter, yang salah adalah manajemen pendistribusian dokter-dokter ke daerah-daerah. Pengalaman saya sebagai (Staf Ahli Badan Pengarah Papua) melihat kesehatan masyarakat Papua sangat memprihatinkan, saya menginisiasi-mengkoordinasikan agar dokter-dokter muda asal Papua untuk mengabdi kembali ke daerah asalnya di Papua.
Ide buruk yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan tentang naturalisasi dokter asing adalah perluasan "Perang Asymmetric", "Kolonialisme Baru" dia memihak kepada kepentingan Oligarki mematikan kreativitas anak bangsa dalam ilmu kedokteran yang saat ini kehadiran mereka (para Dokter) sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Fenomena dan kejadian ini terjadi karena Intelijen, Negara, dan Jokowi sebagai Presiden-Kepala Negara, Kepala Pemerintahan telah gagal mencegah terjadinya "Pendadakan Strategis". Dan pada tingkat tertentu menurut dan meminjam diksi dari Isaiah Berlin: Seluruh Civitas Akademika Universitas Airlangga telah diperbudak, telah ditindas oleh Negara. Situasi ini akan semakin memburuk, dan harus dicegah-harus diinterupsi. Elite dan massa mengalami persoalan dengan dua kebebasan yang digagas dan dipandu oleh Isaiah Berlin. Dua ragam kebebasan harus berjalan seiring, yang pertama menghasilkan kebebasan dalam arti yang substansial, berjalan lebih maju meninggalkan kebebasan yang kedua: yaitu kebebasan diilhami oleh norma, ilmu pengetahuan, hukum, filsafat, etika, agama dll. Hasilnya adalah caci maki, berita bohong dll yang berujung pada persoalan hukum dan ruang penjara.
Beragam persoalan di atas yakni kebebasan positif dan implikasinya telah melanggar etika. Etika harus berpedoman pada prinsip keadilan yang netral diantara konsep kebaikan yang berbeda-beda, "nalar komunikasi" pembicara dalam melakukan "
speech act" harus memperhatikan makna dari ucapannya dan menyatakan hal-hal yang benar.
Implikasi Bagi Rakyat Hiruk pikuk politik dan ujaran kebencian telah membawa pada implikasi membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, dan lebih jauh lagi membahayakan kekuatan nasional kita. Kebebasan, ujaran kebencian dibungkus dengan kepentingan politik berkembang saat ini telah menjauhkan bahkan memisahkan sebagian rakyat dengan negara, memisahkan rakyat dengan pemimpin negara dan munculnya tindakan tindakan bersama (
collective action) untuk memperkuat atau mempertahankan situasi mereka. Konflik etnis (suku, agama, ras dan antar golongan) merupakan ancaman perdamaian dan keamanan internasional. Konflik-konflik yang dipicu oleh perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan yang terjadi di beberapa negara merupakan contoh-contoh dimana banyak orang tewas dalam konflik.
Kekuatan nasional suatu bangsa terdiri dari beragam elemen yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi, salah satu elemen penting dari kekuatan nasional adalah rakyat. Rakyat sebagai kekuatan nasional, tidak hanya dilihat dari segi kuantitatif, tetapi dari beragam segi salah satunya adalah faktor psikologi yaitu kecintaan rakyat kepada negara (nasionalisme) dan pemimpinnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kekuatan nasional.
Nasionalisme adalah ideologi modern yang menjelaskan ketaatan individu pada negara bangsa dengan meninggalkan kepentingan-kepentingan lainnya. Nasionalisme muncul dalam beberapa bentuk di berbagai wilayah, kultur, sejarah dan sistem politk. Bahkan dalam lokasi tertentu nasionalisme telah berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya di sepanjang periode sejarah.
Di Indonesia, Jargon "Nasionalisme (Cinta Tanah Air) Bagian Dari Iman" sangat relevan untuk digaungkan kembali, adalah jargon dikembangkan oleh tokoh tokoh agama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) pada paruh waktu abad 19 untuk memberikan semangat kepada rakyat-laskar pejuang Indonesia mengusir Kolonialisme Belanda keluar dari wilayah Indonesia.
Peran Media Media adalah pilar ke 4 demokrasi menjadi bagian penting dalam proses melakukan "Pendidikan Politik Rakyat" bebas dan bertanggung jawab. Bebas dalam pengertian saya adalah kebebasan menurut pandangan Isaiah Berlin, menjamin kebebasan bertanggung jawab sekaligus mencerdaskan rakyat. Media telah mengkooptasi hampir seluruh pikiran dan tindakan kita. Konflik dan ketegangan sosial dipicu oleh perbedaan ras, suku dan agama membutuhkan adanya kambing hitam. Frustasi sosial menimbulkan agresi umum tidak bisa diarahkan pada sumber frustasi, agresi ini kemudian diarahkan pada kelompok minoritas lemah disalahkan atas terganggunya ekonomi dan sosial dan politik.
Terlepas bagaimana media melaporkan suatu peristiwa, media dituduh dan telah bersikap bias dan kurang objektif, sebagai bisnis media bergantung pada penerimaan iklan dan karenanya cenderung pada aliran kanan dan mendukung
status quo. Media biasanya dipakai untuk menyebut sederetan institusi berhubungan dengan produksi dan penyebaran bentuk-bentuk simbolis umum berskala besar. Teknologi media memberi dampak fundamental terhadap indra manusia dan daya kognitifnya. Media massa (cetak, elektronik) memampukan individu untuk lebih independen, rasional dan terspesialisasi, tetapi ada semacam katastropi.
Media telah menghasilkan "Milie Kultural" keutamaan visi digantikan oleh perpaduan pancaindra, individu disatukan dalam jaringan komunikasi instan global. Media cetak menjadi alat baru mendukung kemenangan kampanye politik dan bahkan perang yang oleh sebagian ahli pertahanan dapat digolongkan sebagai
Asymmetric Warfare.Oligarki informasi, mengacu kepada hukum besi oligarki, bahwa minoritas yang terorganisir akan selalu mendominasi mayoritas yang tidak terorganisir. Untuk mengantisipasi persoalan tersebut dibutuhkan kerja kolektif, jurnalis, masyarakat dan intelektual untuk mengawasi dan menjadikan media sebagai alat yang paling efektif untuk mencerdaskan masyarakat. Rakyat terdidik tanpa memiliki kesadaran moral kebangsaan dan bela negara akan membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Soft Power bisa digunakan sebagai alat media untuk mengadvokasi masyarakat.
Soft Power merupakan abstraksi nyata untuk meraih capaian dibandingkan jika menggunakan koersi (kekerasan). Media (cetak maupun elektronik) bisa digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi setiap warga negara dengan berbagai cara dan keuntungan ekonomi dapat menjadi janji awal untuk menarik perhatian. Media dapat menggunakan ideologi, budaya dan nilai-nilai positif politik bangsa.
Soft Power merupakan cara lain untuk mengekspresikan bagaimana power itu masuk (informasi media), namun dengan tidak memakan biaya dan tenaga yang berlebih seperti
Hard Power.
*Penulis adalah Marsekal Pertama TNI (Purn), Analis Intelijen, Politik dan Keamanan Internasional. Pernah menjabat sebagai Perwira Tinggi (Pati) Sahli Kasau Bidang Sumber Daya Nasional (Sumdanas 2018), Saat ini bekerja sebagai Kelompok Ahli Badan Pengarah Papua (BPP)
BERITA TERKAIT: