Mungkin karena gula sudah begitu akrab dengan lidah rakyat, Presiden Prabowo Subianto pun merasa perlu tetap menjaga pasokannya. Sampai-sampai ia harus mengingkari janjinya sendiri untuk tidak mengimpor bahan pangan, termasuk gula —meski harga yang harus dibayar adalah kesehatan rakyatnya sendiri.
Bicara soal kebiasaan rakyat, konsumsi gula kita luar biasa. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2021), rata-rata orang Indonesia menghabiskan 1.123 gram gula putih per minggu, atau sekitar 160 gram per hari. Itu tiga kali lipat dari batas aman Kementerian Kesehatan yang merekomendasikan hanya 50 gram per hari.
Dengan kata lain, jika anjuran Kemenkes itu ibarat batas kecepatan di jalan tol, kita ini bukan sekadar ngebut —kita sudah terbang! Dan seperti halnya pengemudi ugal-ugalan, ada konsekuensi yang harus diterima. Diabetes, penyakit yang dulu hanya disebut-sebut dalam ceramah kesehatan di Puskesmas, kini menjadi momok nyata.
Menurut Kementerian Kesehatan, prevalensi diabetes di Indonesia melonjak dari 1,5 per mil pada 2013 menjadi 2 per mil pada 2018. Laporan terbaru dari International Diabetes Federation (IDF) bahkan menempatkan Indonesia di peringkat kelima dunia dalam jumlah penderita diabetes. Sebuah "prestasi" yang tak patut dibanggakan.
Namun, di tengah lautan sirup dan kemasan gula sachet yang makin mendominasi rak minimarket, ada kabar menarik dari dunia penelitian. Para ilmuwan mulai memahami bahwa urusan metabolisme gula bukan hanya soal seberapa banyak yang kita makan, tetapi juga siapa yang membantu kita mencernanya —yakni mikrobiota usus.
Salah satu penelitian terbaru dilakukan Dr. Patrice Cani dari Université Catholique de Louvain, Belgia, yang dipublikasikan di Nature Metabolism. Penelitiannya menemukan, bakteri Akkermansia muciniphila memainkan peran penting dalam metabolisme glukosa dan lemak serta dapat membantu mengurangi resistensi insulin.
Studi ini melibatkan uji coba pada manusia, di mana partisipan yang mengonsumsi suplemen Akkermansia mengalami peningkatan sensitivitas insulin dan penurunan kadar gula darah. Temuan ini sejalan dengan studi lain dari Harvard Medical School yang dipimpin oleh Dr. Aleksandar D. Kostic pada 2021.
Penelitian Kostic dkk menunjukkan bahwa individu dengan mikrobiota usus yang lebih beragam cenderung memiliki metabolisme gula yang lebih sehat. Dalam penelitian ini, mereka mengidentifikasi bahwa perbedaan dalam komposisi mikrobiota dapat berkontribusi pada apakah seseorang akan mengembangkan diabetes tipe 2 atau tidak.
Jadi, bukan hanya soal berapa sendok gula yang kita taburkan dalam kopi, tetapi juga siapa penghuni usus kita yang mengolahnya. Para peneliti mencoba memberi kita harapan dengan solusi berbasis mikrobiota usus—meskipun untuk saat ini, kesadaran publik terhadap hal ini masih sebatas wacana di jurnal ilmiah.
Solusi berbasis mikrobiota usus berangkat dari pemahaman bahwa kesehatan manusia sangat dipengaruhi oleh miliaran mikroorganisme yang hidup di dalam saluran pencernaan. Mikroba ini berperan dalam berbagai fungsi penting, termasuk pencernaan, metabolisme, dan sistem kekebalan tubuh.
Dalam konteks gula dan diabetes, penelitian terbaru menunjukkan bahwa mikrobiota usus tertentu dapat membantu mengatur kadar gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin. Jika dikembangkan, ini bisa menjadi salah satu pendekatan baru dalam pencegahan dan pengelolaan penyakit metabolik.
Pendekatan ini berkaitan erat dengan probiotik, yaitu mikroorganisme hidup yang dapat memberikan manfaat kesehatan jika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup. Probiotik umumnya berupa bakteri baik seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium, yang sering ditemukan dalam produk fermentasi seperti yogurt dan kefir.
Namun, solusi berbasis mikrobiota usus tidak terbatas pada probiotik saja. Ada juga prebiotik —zat makanan yang mendukung pertumbuhan bakteri baik— serta metode yang lebih spesifik seperti transplantasi mikrobiota feses (FMT) untuk memperbaiki komposisi mikrobiota usus pada penderita penyakit tertentu.
Suplemen Akkermansia muciniphila adalah salah satu bentuk solusi berbasis mikrobiota usus yang mulai mendapat perhatian dalam penelitian. Bakteri ini diketahui memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan lapisan mukosa usus serta meningkatkan metabolisme glukosa dan lemak.
Studi menunjukkan bahwa konsumsi suplemen Akkermansia dapat membantu meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan kadar gula darah, menjadikannya alternatif potensial dalam mengatasi resistensi insulin dan diabetes tipe 2. Meski demikian, penggunaannya masih dalam tahap pengembangan, dan belum menjadi terapi standar.
Di satu sisi, pemerintah sibuk menjaga pasokan gula agar kita tidak kekurangan "manis dalam hidup." Di sisi lain, data menunjukkan bahwa kita sudah kelewat manis, hingga terancam diabetes massal. Sementara solusi berbasis mikrobiota usus masih dalam tahap pengembangan, kita tetap perlu mengurangi konsumsi gula.
Jadi, mungkin sudah waktunya kita mengubah slogan hidup. Jika selama ini "hidup itu manis," mungkin lebih tepat jika kita berkata, "Hidup itu cukup manis —asal tidak berlebihan." Sebab, pada akhirnya, kesehatan yang baik adalah manis yang sesungguhnya.
BERITA TERKAIT: