Mengapa? Karena Pilkada DKJ menjadi barometer nasional dan para gubernurnya sekaligus menjadi tokoh kaliber nasional, yang potensial menjadi presiden pada periode berikutnya.
Yang menarik dan juga menjadi perhatian publik karena Sohibul Iman, PhD (PKS) dan Anies Baswedan, PhD adalah mantan rektor Universitas Paramadina.
Universitas Paramadina tidak besar dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak, tetapi juga tidak kecil karena pada saat ini jumlah mahasiswanya hampir 6.000 orang. Dengan kehadiran tokoh-tokoh yang hebat, Universitas Paramadina ke depan akan semakin dikenal, dipercaya dan diminati oleh masyarakat dan publik secara luas sehingga akan menjadi universitas yang besar.
Sebenarnya tidak hanya Anies dan Sohibul yang tampil di panggung nasional dan ikut membesarkan nama Paramadina. Selain mereka, di Paramadina ada nama Sudirman Said pernah menjadi Menteri ESDM dan berniat juga menjadi Calon Gubernur Jakarta –tetapi lebih dominan Anies di dalam politik Jakarta saat ini.
Ada juga Sandi Uno (PPP), bendahara di Paramadina, sangat aktif di dalam politik, termasuk Jusuf Kalla sendiri, yang sekarang menjadi ketua badan pembina yayasan.
Tidak kalah dari semuanya, ada juga Tia Rahmania (PDIP), Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina yang terpilih menjadi anggota DPR RI Dapil Banten periode 2024-2029.
Lalu apa yang menarik? Paramadina secara faktual ada Yayasan, Universitas, pengajian, dan aktivitas kemasyarakatan lainnya. Paramadina yang didirikan Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya ini sejatinya adalah sebuah gerakan pemikiran, intelektual, sosial pendidikan, aktivisme dan lainnya.
Paramadina tidak sekadar kampus yang memang lebih dikenal, tetapi sejatinya adalah gerakan yang luas sehingga tidak aneh muncul tokoh-tokoh berbagai warna.
Ketika Anies menjadi Calon Gubernur atau Calon Presiden, di Paramadina ada yang memilihnya, ada yang tidak sesuai keyakinan masing-masing. Paramadina memang seperti ini karena bukan partai politik. Orang-orang yang berkegiatan di Paramadina ketika masuk ke dalamnya tidak berpolitik praktis sehingga bisa menerima semua kalangan.
Kembali ke Pilkada DKJ, ini menarik sekali bukan hanya karena Anies, Iman dan PKS, yang memenangkan Pemilihan Legislatif di Jakarta. Di kota ini Pilkada berlangsung dengan suasana seperti Pilpres sehingga menarik perhatian semua kalangan pengamat, media, luar negeri dan masyarakat sendiri.
Di dalam Pilkada DKJ ini sudah jelas Anies paling tinggi daya jual dan elektabilitasnya. PKS dalam hal ini bergerak lebih awal dengan semangat merebut lebih dahulu ketimbang Nasdem dan PKB yang sudah berniat semi terbuka untuk mencalonkannya.
Karena tidak merupakan hasil musyawarah, maka beberapa pihak analis menyatakan pasangan "Aman" ini tidak aman.
Memang begitulah politik, sebelum penetapan resmi KPUD, siapa pun bakal calon di Pilkada ini masih bisa berubah total terbalik dari rencana semula. Ini ciri politik Indonesia yang sama sekali tidak memiliki ideologi apa pun, kecuali transaksional belaka.
Bagi Anies sendiri, Pilkada ini turun pangkat tetapi penting untuk persiapan Pilpres 2029. Jika mundur dari politik sudah pasti namanya lenyap dari peredaran, seperti Wiranto, Agum Gumelar, Hatta Rajasa, dan lain-lain.
PKS paling sukses dan paling tinggi perolehan suaranya di Jakarta. Tetapi untuk urusan pencalonan gubernur, tidak bisa sendiri sehingga memerlukan kawan partai lain.
Posisi merebut lebih berhasil juga merebut perhatian publik. Tetapi bukan tidak mungkin ini menjadi bumerang bagi pasangan ini bubar ketika lobi-lobi lanjutan terjadi. Nasdem dan PKB tentu tidak bisa menelan begitu saja semacam
corporate action ini. Lobi akan terus berlangsung dengan interest yang pasti kuat dari partai-partai lainnya.
Pasangan "Aman" bisa bubar karena proses lobi yang intensif, atraktif bahkan liar, tetapi Anies akan menjadi rebutan sehingga menjadi calon paling potensial jadi, kecuali ada konspirasi kekuatan jahil untuk meruntuhkannya.
Ridwan Kamil akan mengambil peluang ini dan keberuntungan untuk tahun 2029. Jadi Pilkada DKJ ini sangat jelas berhubungan langsung dengan politik 2029, khususnya Pilpres.
Bagaimana jika Ahok masuk gelanggang dan diusung kembali oleh partai seperti PDIP?
Action seperti ini perkara baru, yang bisa membangunkan lagi radikalisme tertentu dan akan menular lebih luas. Masuk akan kembali mengulangi 2017.
Rektor Universitas Paramadina
BERITA TERKAIT: