Ada beberapa hal yang membuat Pertamina akan menghadapi risiko keuangan di antaranya:
1) Banyaknya proyek Pertamina dibiayai dengan utang dalam mata uang asing, terutama
global bond.
2) Adanya depresiasi mata uang rupiah dan stabilitas harga minyak mentah yang kurang terprediksi dengan baik.
3) Ada masalah geopolitik seperti perang Rusia Ukraina yang mengganggu proyek strategis seperti proyek kilang Tuban dan lain-lain.
Namun keputusan membentuk Direktorat Manajemen Risiko harus dipersiapkan secara matang dan jangan terburu-buru. Karena ini adalah direktorat strategis.
Bayangkan nanti semua orang harus melapor dan seizin Direktur Risiko jika mengambil utang, merencanakan proyek, pelaksanaannya dan evaluasi proyeknya. Ini tentu sudah mengambil separuh peran Direktur Utama.
Selain itu, Direktorat Risiko akan merekrut ratusan orang untuk seluruh
holding, sub holding yang akan menjabat sebagai Dirut, Wadirut, Dewan Komisaris, Komisaris, dan jabatan tinggi lainnya dalam direktorat tersebut. Ini tentu harus diseleksi dengan cermat agar nanti lembaga ini mumpuni.
Selain itu juga, direktorat baru pasti memerlukan dana besar karena adanya jabatan tinggi baru dan fasilitas lainnya dalam jabatan tersebut. Semuanya harus direncanakan dengan baik.
Aspek politik yang juga harus diperhitungkan adalah pemerintahan sedang dalam transisi.
Prabowo-Gibran Presiden dan Wakil Presiden terpilih pasti memperhatikan dengan cermat perkembangan Pertamina. Karena Pertamina memiliki ikatan sangat kuat dengan APBN, yakni subsidi dan kompensasi yang mendekati Rp500-an triliun.
Jadi jika direktorat ini benar dibentuk, tentu saja Prabowo-Gibran akan memberikan perhatian. Sebab ini sangat berkaitan dengan ketahanan energi, ketahanan nasional, ketahanan APBN dan keselamatan rakyat ke depan.
Jadi,
ojo kesusu, ini harus
alon-alon asal kelakon dan menunggu petunjuk.
Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)
BERITA TERKAIT: