Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ketiadaan Komitmen Perlindungan Lahan

OLEH: MUHAMMAD IRVAN MAHMUD ASIA

Sabtu, 09 Maret 2024, 12:57 WIB
Ketiadaan Komitmen Perlindungan Lahan
Areal persawahan di Pulau Jawa/Net
KISRUH harga beras bukan terjadi kali ini saja. Celakanya respons pemerintah atas kenaikan harga beras hanya dilihat sebagai fakta yang sifatnya sesaat, dengan mendalilkan variabel penyebapnya berasal dari luar kendali mereka. Dalam tiga bulan terakhir, perubahan iklim menjadi kambing hitam atas kenaikan harga beras.

Memang perubahan iklim (El Nino) sepanjang 2023 kemarin berdampak pada penurunan produksi pangan. Tetapi itu bukan satu-satunya determinan dari persoalan ini. Kalau mau jujur, alih fungsi lahan pertanian yang menjadi penyumbang terbesar penurunan produksi beras.

Rendahnya implementasi perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sudah sangat meresahkan. Berbagai peraturan? kebijakan tidak mampu melindungi LP2B. Setiap tahun lahan khususnya sawah terkonversi. Ini akan membuat kebijakan cetak sawah menjadi tak bermakna.

LP2B menjadi paling rentan terkonversi dibanding lahan kering. Letaknya yang strategis seperti topografi yang datar, berdekatan dengan kota, desakan industri dan pemukiman menjadi nilai lebih yang membuat permintaan cukup tinggi.

Saat yang sama usaha pertanian semakin tidak menguntungkan akibatnya petani menjual lahan selain nilai jual tanah tinggi; kurangnya sarana prasarana pertanian misalnya irigasi sehingga pasokan air yang untuk lahan pertanian penuh dengan ketidakpastian; mahalnya biaya penyelenggaraan pertanian baik pengolahan lahan, harga pupuk, benih hingga sewa buruh tani.

Secara faktual alih fungsi lahan sawah ke non sawah bervariasi antara 60 ribu hektare sampai 80 ribu hektare per tahun. Bahkan Data Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2019 lebih fantastis lagi sekitar 100 ribu hektare per tahun. Menekan laju alih fungsi lahan sawah sangat penting berkaitan dengan upaya memastikan ketersediaan, keterjangkuan dan stabilitas harga pangan.

Alih fungsi yang terus berlanjut pasti menurunkan produksi dan akibatnya impor akan bertambah dan APBN terkuras, ketidakpastian pekerjaan bagi petani yang lahannya beralih fungsi. Terakhir agenda menciutkan angka kelaparan mendekati nol di tahun 2030 sebagaimana target SDGs bisa terancam gagal.

Pemerintah sudah memiliki seperangkat aturan berupa perundang-undangan dan peraturan turunan untuk melindungi LP2B.

Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang LP2B pada pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa LP2B adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

Dirasa tidak efektfif, Presiden Joko Widodo lantas mengeluarkan Undang-Undang No 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan yang mencabut UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Pasal 18 ayat 2 menyebut lahan budi daya pertanian berupa lahan terbuka wajib dilindungi, dipelihara, dipulihkan, serta ditingkatkan fungsinya oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan/atau petani. Dan siapapun dilarang untuk mengalihfungsikannya sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat 1 bahwa setiap orang dilarang mengalihfungsikan lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan budi daya pertanian.

Lalu diikuti dengan Peraturan Presiden No 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah untuk memproteksi LP2B. Perpres ini dimaksudkan untuk mempercepat penetapan peta lahan sawah yang dilindungi dalam rangka memenuhi dan menjaga ketersediaan lahan sawah untuk mendukung kebutuhan pangan nasional; untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah yang semakin pesat; dan memberdayakan petani agar tidak mengalihfungsikan lahan sawah.

Tiga aturan di atas, akhirnya juga tidak mampu mengendalikan alih fungsi. Berbagai hambatan masih berlangsung dan sedikit banyak ditentukan oleh lemahnya komitmen pemerintah daerah.

Terbukti masih sangat banyak daerah yang tidak memiliki Perda Perlindungan LP2B, sementara daerah yang telah menetapkan perda hanya sebatas formalitas.

Mengutip data Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementrian Pertanian, Perda RTRW Provinsi yang telah menetapkan luas LP2B baru 18 dari 34 provinsi dan yang sudah memiliki data spasial luas yang melekat pada Perda tersebut baru 2 provinsi.

Sementara Perda RTRW Kabupaten/Kota dari 514 baru 253 yang telah menetapkan luas LP2B dan dari total itu hanya 54 yang sudah memiliki data spasial luas.

Untuk Perda Perlindungan LP2B Provinsi baru 17 provinsi dan dari 17 baru 2 provinsi yang memiliki data spasial luas. Adapun Perda Perlindungan LP2B ditingkat Kabupaten/Kota hanya 112 dari 514 dan 12 yang telah memiliki data spasial luas.

Selain itu, kemungkinan perilaku maladministrasi juga sangat terbuka, misalnya transaksi untuk mengubah status lahan agar tidak masuk dalam peta LSD.

Paradoks ini semakin kuat ketika UU Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan. UU sapujagat ini justru menghendaki alih fungsi. Pasal 124 UU Ciptaker mengubah Pasal 44 UU LP2B dengan alasan demi kepentingan nasional bernama Proyek Strategis Nasional (PSN) dan pemerintah akan membuka lahan pertanian baru untuk mengganti lahan yang sudah terkonversi sangat absurd, mengingat upaya pencetakan lahan pertanian baru belum tentu bisa sama hasilnya. Belum lagi kerugian anggaran negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pupuk, alsintan dan sebagainya.

Jelas disebutkan di Pasal 44 ayat 1 UU LP2B “Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan”.

Faktanya tidak demikian. Sehingga klausul dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur pada pasal 72 ayat 1 (berlaku untuk orang perorangan) dan pasal 73 (berlaku untuk pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian LP2B yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 44 ayat 1) harusnya diberlakukan, tetapi tidak berjalan.

Terdapat kesenjangan antara das sein dengan das solen. Padahal sistem hukum dalam Perlindungan LP2B idealnya mampu menjadi “mesin” yang menjembatani terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat yang meliputi pemerintah (regulator), petani dan pelaku usaha tani, serta konsumen. Eksistensi kebijakan mutlak diperkuat dalam kerangka integrasi regulasi lintas sektor yang bersifat sistemik dan berada dalam satu kebijakan institusional yang linear.

UU LP2B perlu ditinjau ulang dan kabar baiknya inisiasi atas perubahan UU ini mulai dilakukan DPD RI melalui Komite II dengan menyerap aspirasi dari lembaga eksekutif pusat-daerah, kampus, dan masyarakat sipil.

Semoga usulan DPD RI akan mendapatkan sambutan baik dari DPR RI dan Presiden untuk segera dilakukan perubahan. Diikuti dengan perbaikan klausul dalam UU Cipta Kerja bahwa negara berkomitmen penuh untuk melindugi LP2B.

Perlindungan tentu tidak cukup, mesti linier dengan keberpihakan negara pada petani dengan memberi pupuk subsidi, penambahan saluran irigasi sekunder dan tersier, benih yang bermutu, dan harga yang bagus akan membuat petanu semangat dalam berproduksi sehingga negara tercinta ini bisa merdeka dari krisis pangan.

Siapapun Presiden terpilih hasil Pemilu 2024 memiliki tugas amat berat, memastikan kebutuhan pangan tercukupi, mudah diakses, dan harga terjangkau. Itulah kedaulatan pangan, bukan dengan impor.rmol news logo article


Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam (PPASDA)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA