Dalam konteks ini, hukum yang sedianya diperuntukkan memagari masyarakat dan perorangan dari kejahatan pun dapat digunakan untuk tujuan kezaliman atas dasar syahwat kekuasaan atau kebencian personal atau atas dasar kepentingan dan tujuan politik. Telah banyak korban kezaliman melalui kedok hukum yang kini tengah menghuni Lapas Sukamiskin, Cipinang dan Nusakambangan.
Dapat dipastikan bahwa korban-korban ini akan menanti waktu untuk melakukan pembalasan yang selalu diingat selama hidupnya, termasuk keturunannya. Hukum yang digunakan untuk tujuan kezaliman dipastikan akan berbalas di saat waktunya dan Tuhan tidak akan pernah tidur melihatnya.
Setiap insan anak bangsa Indonesia yang Pancasilais dipastikan wajib memahami makna sila
Keadilan Sosial dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang dilandaskan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terkadang kita merasa malu dan iri melihat betapa disiplin tinggi aparatur hukum di Negeri Jiran dalam menegakkan disiplin dan kepatuhan terhadap hukum (undang-undang) seperti Singapura dan Korea Selatan, serta Jepang dalam menangani kasus kriminal biasa, termasuk yang melibatkan pejabat pemerintahan yang dilaksanakan secara konsisten dan penuh tanggung jawab. Bahkan mengundurkan diri dari jabatannya hanya diduga melakukan tindak pidana oleh masyarakat.
Hilangnya rasa malu dan tanggung jawab sosial seorang pejabat, termasuk aparat penegak hukum tidak dibiasakan, bahkan dapat disebut sudah menjadi “sub-budaya" (
sub-culture) yang jika dibiarkan dapat menjadi “budaya bangsa”(
national culture).
Lalu bagaimana masa depan generasi bangsa ini kemudian? Pagar pengaman yang diharapkan dapat dijadikan penuntun gaya hidup aparatur negara/ASN yang sederhana, baik dan tidak tercela telah diatur dalam UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme antara lain kewajiban melaporkan harta kekayaan oleh setiap ASN telah dilembagakan.
Dan, UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan tujuan tercipta pemerintahan yang bersih dan bebas dari penyalahgunaan wewenang, apakah dalam bentuk melampaui batas wewenang, mencampuradukkan wewenang atau bertindak sewenang-wenang.
Selain penyalahgunaan wewenang, sejak tahun 1999 kepada aparatur pemerintah/ ASN dilarang melakukan nepotisme dan kolusi yang mendahulukan kepentingan pribadi dan keluarga atau kepentingan kelompok atas dasar alasan apa pun yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara.
Bahkan pelanggaran atas larangan kolusi dan nepotisme diancam pidana paling lama 12 tahun dan pidana denda.
Di sisi lain juga setiap ASN, terutama yang memiliki wewenang berdasarkan mandat UU, termasuk seorang presiden untuk tidak melakukan kezaliman dengan tujuan politis atau yang bersifat personal sesamanya juga termasuk lawan-lawan politiknya.
Penyalahgunaan wewenang, apalagi untuk menzalimi seseorang dengan tameng hukum sungguh merupakan perbuatan tercela dan mencoreng kemuliaan hukum sebagai produk nurani dan nalar kemanusiaan yang adil dan beradab, menjaga dan memuliakan harkat dan martabat setiap insan manusia.
Secara keseluruhan sejak era 1998 dalam bidang hukum, lebih dari seratus produk undang-undang, belum termasuk peraturan daerah telah dihasilkan pemerintahan Joko Widodo belum cukup bagi bangsa Indonesia, melainkan masih diperlukan suatu titik balik seratus delapan puluh derajat ke arah pembinaan akhlakul karimah setiap insan aparatur pemerintah, terkhusus aparatur penegak hukum sebagai pemimpin dan contoh suri teladan manusia Pancasilais.
Di sisi lain fungsi dan peranan hukum yang merupakan sarana pembaruan (cara berpikir) manusia di dalam mencapai tujuan/cita-cita hidupnya sering tidak mempedulikan aturan hukum yang berlaku.
Namun demikian, kajian hukum secara mendalam dari sisi hulu ke hilir, sering juga terjadi kegagalan atau hambatan dalam implementasi penegakan hukum justru diawali dari hulu, bukan dari proses di hilirnya; contoh produk hukum (UU) tidak lagi mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, bahkan kepentingan bangsa dan negara sehingga mendapat reaksi penolakan dari masyarakat, antara lain terjadi perbuatan menghalang-halangi proses penyidikan.
Kini terjadi fenomena yang merupakan kenyataan bahwa di dalam beberapa perkara pidana telah terjadi “pemufakatan” antara lembaga penegak hukum, termasuk Mahkamah Agung dan jajarannya agar perkara “dimenangkan” atau “dikalahkan” tanpa mempertimbangakan secara serius dan objektif kepentingan tersangka atau terdakwa; yang penting subjek target yang dijadikan sasaran berhasil dijebloskan ke penjara atau dibebaskan dari tuntutan jaksa.
Contoh kasus terakhir ini sering terjadi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang terbukti banyak melibatkan selain pejabat ASN eselon satu, juga elite partai politik.
Fenomena terkini tersebut merupakan hambatan NKRI sebagai negara hukum yang bermartabat, terutama dari sisi pandangan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat hukum termasuk para ahli hukum.
BERITA TERKAIT: