Berdasarkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi 3/2009 tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, telah ditetapkan bahwa, pengambilan keputusan harus dilakukan oleh minimal tiga anggota pimpinan (kuorum). Dalam hal tidak mencapai kuorum, digunakan saluran komunikasi antarpimpinan untuk menyampaikan pendapatnya tentang solusi permasalahan yang diajukan atau ditempuh pola mendesak.
Keputusan pimpinan KPK sekurang-kurangnya oleh tiga orang dapat dilakukan jika, (a) keadaan mendesak, (b)bersifat operasional, (c) anggota pimpinan berhalangan sementara, (d) anggota pimpinan diberhentikan sementara, (e) anggota pimpinan berhenti atau diberhentikan.
Secara keseluruhan ketentuan yang diatur dalam Peraturan KPK 3/2009 telah melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU 30/2002 tentang KPK, dan secara khusus ketentuan-ketentuan Bab III tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan.
Tujuan peraturan
a quo adalah menyelesaikan pemeriksaan perkara korupsi secara efisien dan efektif tidak tertunda-tunda, yang dapat menghambat pemberantasan korupsi. Namun demikian, tentu tidak juga mengabaikan ketentuan tentang prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang antara lain tentang Perubahan Perundang-undangan.
Pasal 7 dan Pasal 8 UU 12/2011. Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa, Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sedangkan Pasal 8 ayat (1) menyatakan antara lain bahwa jenis peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Komisi yang diatur setingkat dengan UU.
Merujuk pada ketentuan UU 12/2011 tersebut, jelas bahwa Peraturan KPK tidak boleh bertentangan jenis peraturan UU di atasnya (UU 3/2002), dan Peraturan Komisi
a quo harus diperintahkan oleh UU KPK Tahun 2002. Begitu pula dalam hal pengundangan (Bab XI) UU 12/2011 telah menyatakan bahwa, proses pengundangan peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan KPK harus melalui prosedur yang ditetapkan dalam UU
a quo, antara lain wajib diketahui dan disetujui dan ditandatangani oleh Menteri yang membidangi hukum dan perundang-undangan dan diumumkan di dalam Berita Negara atau Lembaran Negara (Pasal 81).
Pemberlakuan Peraturan KPK 03/2009 telah dilaksanakan tanpa melalui prosedur yang sah berdasarkan UU 13/2011 sehingga tidak memiliki kedudukan hukum yang kuat sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang sah dan tidak mengikat, baik ke dalam maupun kepada masyarakat luas, termasuk setiap orang yang diperiksa baik sebagai saksi maupun tersangka.
Di dalam penegakan hukum secara universal diakui dan telah peringatkan agar tidak didasarkan pada prinsip
the means justify the ends karena cara tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip bahwa setiap orang berhak, termasuk dalam status tersangka untuk memperoleh jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Di dalam teori maupun praktik hukum telah diakui bahwa, hukum acara mengenai tata cara pemeriksaan dalam perkara pidana yang telah ditetapkan dengan UU tidak dapat ditafsirkan lebih luas daripada apa yang telah secara jelas diatur di dalamnya, karena tata cara tersebut pembatasan penggunaan wewenang berdasarkan UU yang sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak asasi seseorang contoh, penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka prinsipnya merupakan pelanggaran hak asasi akan tetapi tindakan tersebut sah dilakukan karena undang-undang mengatur dan membolehkannya atau tidak dilarang.
Kekeliruan KPK dalam melaksanakan proses pemeriksaan tahap penyelidikan sering terjadi di mana KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka pada akhir tahap penyelidikan, tidak di akhir tahap penyidikan. Hal ini sesungguhnya telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 5 UU 8/1981 KUHAP.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana serta untuk menemukan tersangkanya.
Sedangkan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Selain masalah prosedur, Peraturan KPK 3/2009 telah melanggar prinsip kolektif-kolegial sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU KPK 2002; yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif kolegial adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan bersama-sama oleh Pimpinan KPK".
Ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU KPK 2002 telah diperkuat oleh Putusan MK RI Nomor 49/PUU-XI-2013 yang di dalam pertimbangannya telah menguatkan ketentuan keharusan Pimpinan KPK bekerja secara kolektif kolegial untuk menghindari kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil tindakan yang luar biasa.
Hal tersebut juga dimaksudkan agar KPK bertindak ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan hukum dalam pemberantasan korupsi karena jika tidak demikian, atau hanya diberikan kewenangan kepada seorang ketua atau dengan keputusan mayoritas anggota pimpinan, akan dikhawatirkan adanya kesalahan dan kekeliruan atau penyalahgunaan KPK oleh kekuatan politik lain di luar KPK.
Merujuk pertimbangan putusan MK RI
a quo, Majelis Hakim Konstitusi dalam Perkara Nomor 49 menyadari keluarbiasaan wewenang pimpinan KPK dalam pemberantasan korupsi dan betapa besar pengaruh-pengaruh kekuasaan atau kelompok-kelompok dalam masyarakat terhadap kinerja KPK.
Berangkat dari uraian tentang kepemimpinan berasaskan kolektif kolegial tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada sedikitpun celah penafsiran hukum lain selain apa yang tertulis dalam ketentuan pasal
a quo. Namun demikian, praktik peradilan pidana khususnya dalam sidang praperadilan yang memasalahkan kewenangan penetapan tersangka yang secara
expressive verbis bertentangan dengan ketentuan KUHAP tentang penyelidikan telah disahkan Hakim Sidang Praperadilan, sedangkan upaya hukum untuk mengajukan Peninjauan Kembali telah dilarang berdasarkan Pasal 3 (1) Peraturan MA RI 4/2016.
Dalam konteks ini adalah menjadi tidak adil bagi pencari keadilan di mana Putusan MK RI telah memberikan celah hukum kepada Negara, dalam hal ini diwakili Kejaksaan/Jaksa untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dan tertutup celah hukum bagi pencari keadilan untuk menikmati kebebasannya karena putusan pengadilan.
Di lain pihak, Peraturan MA RI 4/2016 justru menutup celah hukum bagi pencari keadilan untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan praperadilan yang telah menolak permohonan prapaeradilannya.
Dilematika hukum sebagaimana diuraikan sudah tentu politik hukum yang adil dan bijaksana.
BERITA TERKAIT: