Sehingga menimbulkan tanda
tanya dari aspek procedural sebagaimana telah ditetapkan di dalam UU
8/1981 tentang KUHAP khusus ketentuan mengenai penyelidikan dan
penyidikan (Pasal 1 angka 2 dan angka 5 ) yang berbunyi: Dalam hal ini
terkait jeda waktu antara proses penyelidikan dan penetapan tersangka
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses penyidikan.
Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sedangkan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
Sejalan
dengan pengertian/definisi kedua tahapan proses pemeriksaan
pra-penuntutan tesebut jelas bahwa proses penyelidikan hanya menemukan
ada/tidak adanya suatu peristiwa pidana sedangkan proses penyidikan
mencari dan menemukan bukti untuk menetapkan siapa yang terbukti
melakukan tindak pidananya atau menemukan tersangkanya; ada perbedaan
jeda waktu yang cukup untuk tujuan tersebut.
Namun
demikian diakui bahwa ketentuan KUHAP mengenai proses penyelidikan
dan penyidikan tidak dibatasi oleh tenggat waktu tertentu sehingga hak
subjektif Penyidik untuk memeriksa dan bahkan menetapkan seseorang
menjadi tersangka bahkan melakukan upaya paksa rentan terhadap
penyelahgunaan wewenang penyidik sehingga KUHAP belum memberikan
perlindungan hukum yang memadai bagi siapa saja yang dijadikan objek
(bukan subjek) pemeriksaan.
Bertolak
dari pemikiran tersebut pembentuk UU KUHAP telah memasukkan ketentuan
mengenai praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP.
Pengadilan
negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
(Pasal 77).
Lingkup objek praperadilan
kemudian telah diperluas dalam Putusan MKRI 21/PUU- XX/2014, meliputi
juga penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan; dengan
pertimbangan Majelis Hakim MKRI bahwa, keenam objek praperadilan
adalah merupakan tindakan yang rentan terhadap perlindungan hak asasi
tersangka yang merupakan kewajiban Lembaga peradilan.
Perluasan
objek praperadilan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1)
UUD45 Perubahan yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di muka hukum.
Norma
ini harus dimaknai bahwa, pertama bangsa Indonesia memiliki peradaban
maju dan menganut sila perikemanusiaan sebagai salah satu sila
filosofi bangsa dan Negara Hukum dan kedua, hak setiap orang untuk
diakui dan dijamin oleh negara harus tidak bersifat diskriminatif dan
ditindas dengan tindakan aparatur hukum yang eksesif sehingga
mendegradasi harkat dan martabat seseorang termasuk seseorang yang
ditetapk tersangka/terdakwa.
Kelemahan
ketentuan penyelidikan menurut KUHAP tidak ada batas waktu kapan
seharusnya proses penyelidikan berhenti. Dalam praktik lazimnya
ditentukan berdasarkan dugaan semata-mata sepanjang telah terdapat dua
bukti permulaan yang cukup. Terlepas dari masalah harkat dan martabat
seorang tersangka/terdakwa, dan opini publik dalam masyarakat kita
tidak lagi mempertimbangkan asas praduga tak bersalah, (
presumption of innocence), sebaliknya asas praduga bersalah (
presumption of guilt).
Syarat
calon pimpinan KPK berdasarkan UU 3/2002 tentang KPK, selanjutnya di
dalam UU 19/2019, telah mengatur syarat-syarat calon komisioner KPK,
antara lain selain batas usia juga syarat perilaku dan integritas,
profesionalisme dan akuntabilitas melalui suatu seleksi yang
dilakasanakan oleh panitia seleksi.
Dan kini komisioner KPK telah berganti pimpinan sampai ke lima kali, terakhir di bawah ketua Firli Bahuri dan kawan-kawan.
Sejatinya
harapan dan idealisme pembentuk UU KPK adalah, KPK dipimpin oleh
komisionrer yang mampu bertahan dari segala godaan dan suap juga
terbebas dari perilaku tidak terpuji seperti pemerasan dll. Akan tetapi
bagaimanapun komisioner KPK adalah seorang sosok manusia yang tidak
steril sama sekali dari kesalahan di samping kelebihannya sehingga dalam
kurun waktu dua masa kepemimpinan KPK dan terakhir saat ini telah
terjadi dua kali masalah dimana pimpinan KPK ditetapkan sebagai
tersangka dan terjadi dua kali pergantian pimpinan KPK.
Dalam
hal pergantian ini telah digunakan landasan UU KPK Tahun 2002 dan
perubahannya pada Tahun 2019 yang menyatakan bahwa jika pimpinan KPK
ditetapkan sebagai tersangka maka diberhentikan sementara dari jabatan
pimpinan KPK baik sebagai ketua maupun sebagai anggota.
Konsekuensi
logis dari pemberhentian sementara maka tersangka pimpinan KPK ybs
tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenang lagi selaku pimpinan maupun
anggota komisioner KPK sehingga dipastikan terjaadi kekosongan
pimpinan di mana pimpinan KPK tersisa hanya 4 (empat) orang dan
tentunya bertentangan dengan jumlah komisioner KPK yang diwajibkan 5
(lima) orang.
Konsekuensi hukum dari
kekosongan pimpinan KPK maka kewajiban Presiden untuk mengangkat dan
menunjuk seseorang yang memenuhi syarat sebagai pengganti dan pengisi
kekosongan pimpinan KPK tersebut.
Untuk
sampai pada penunjukkan dan pengangkatan pimpinan KPK pengganti maka
UU KPK Tahun 2002 mewajibkan dilaksanakan pemilihan dari calon-calon
pimpinan KPK terdahulu yang gagal menjadi pimpinan KPK dan selanjutnya
di usulkan ke Komisi III DPR RI untuk memperoleh persetujuan.
Ketentuan
pergantian dalam UU 30/2002 telah diubah dengan UU 1/2015 yang
menentukan bahwa pergantian pimpinan KPK sepenuhnya kompetensi Presiden
tidak lagi melalui persetujuan Komisi III DPRI RI dan bahkan
ditegaskan bahwa Presiden dapat menunjuk secara langsung calon
pengganti pimpinan KPK jika pimpinan KPK tersisa paling banyak 3
(tiga) orang.
Hal ini berbeda dengan
pergantian pimpinan KPK dari Firli Bahuri kepada Nawawi Pamolango yang
berasal dari Komisioner KPK ybs sehingga jumlah pimpinan KPK pasca
penunjukkan tersebut tetap hanya 4 (empat) orang.
Namun
pada Tahun 2019, UU KPK Tahun 2002 telah diubah dengan UU 19/2019
yang mengembalikan prosedur pergantian pimpinan KPK harus melalui
proses persetujuan Komisi III DPR RI sehingga ketentuan yang terdapat
pada UU 1/2015 tidak berlaku lagi untuk proses pergantian Firli Bahuri
saat ini.
Hal ini sesuai dengan asas
lex posteriori derogate lege priori.
Bahkan di dalam Pasal 70B UU 19/2019 dinyatakan secara tegas (
expressive verbis) bahwa ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UU 19/2019 harus dinyatakan tidak berlaku.
Dalam UU 19/2019 ditegaskan prosedur pergantian pimpinan harus melalui persetujuan Komisi III DPR RI.
Berdasarkan
uraian tersebut, dengan demikian secara serta merta dapat disimpulkan
bahwa, prosedur pergantian Firli Bahuri ke Nawawi Pamolango
mutatis mutandis cacat hukum (
obscuur) sehingga batal demi hukum.
BERITA TERKAIT: