PILPRES 2024 dimulai dengan langkah kuda binal Mahkamah Konstitusi yang dikendalikan Anwar Usman, adik ipar Presiden Widodo.
Dengan cara sangat tidak seksama tapi dalam tempo sesingkat-singkatnya Gibran, anak Presiden yang masih di bawah umur menurut UU Pemilu, lewat simsalabim diselundupkan Sang Paman ke bursa Pilpres.
“Bom Kemuakkan” publik menghancurkan dinding etika, moral, dan integritas MK. Mahkamah luhur produk reformasi itu hancur. Padahal dalam tradisi politik elektoral MK merupakan panggung pamungkas (
final and binding) sengketa pemilu yang selalu rumit dan emosional.
Setelah itu, pamer nir-etika dan nir-moralitas juga dilakukan penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP). Apa pun yang dilakukan paslon yang ada anak Presidennya dihalalkan. Bawaslu bahkan sok bingung ketika melihat paslon ini ada di tengah mobilisasi Aparat Desa. Di mana pelanggarannya? Ia bertanya. Bedebah!
Di sisi lain, Pemerintahan Joko Widodo tidak bisa meyakinkan publik akan netralitas yang dikatakannya.
Sebab “kata dan perbuatan” yang ratusan tahun diikat tali budaya “tata nilai” oleh nenek-moyang kita, dipisahkan Joko Widodo selama tahun-tahun kekuasaannya. Lain kata, lain perbuatan. Bilang netral tapi terus cawe-cawe.
Akibatnya netralitas organisasi bersenjata (TNI & Polri) serta aparat sipil negara (ASN) disangsikan publik. Ditambah kenyataan hampir semua lembaga negara kehilangan kredibilitasnya, bahkan institusi sepenting KPK, KPU, dan MK dipimpin orang-orang bermasalah. Melakukan tindak pidana. Maka
social distrust pun kian meluas.
Simulasi Pilpres 2024Dalam kondisi seperti ini, memang jadi mustahil pemilu berjalan jurdil. Jika kepada etika mereka abai, mana mungkin ada
fair play.
Itulah sebabnya jika dalam Pilpres nanti muncul “tiga angka perolehan suara” yang akan dipertahankan ketiga paslon (no 1, 2, dan 3) sebagai angka yang benar. KPU niscaya akan mendukung salah satu dari ketiga “angka perolehan suara” itu. Tapi dipastikan tidak akan disepakati kedua paslon lainnya.
Dalam situasi krusial dan emosional seperti itu, ke mana persoalan akan di bawa? Pasti tidak ke MK yang integritas, moralitas dan pro-fesionalitasnya sudah dipre-teli penguasa lewat skandal Gibran.
Jika dibawa ke MK, sudah terbayang apa yang akan terjadi. MK bakal meme-nangkan “angka perolehan suara” paslon yang didukung kekuasaan. Lalu pengadu tidak terima putusan MK. Lalu dibikin lagi MK-MK yang segera menggelar sidang.
Putusan MK-MK pasti akan begini: “Semua Hakim MK melanggar etika berat maka wajib hukumnya dipecat. Tapi MK-MK kan tidak berwenang ngubah putusan …!”
Maka paslon dukungan penguasa akan dinyatakan memenangi Pilpres 2024. Tapi apakah kisah pilu pemilu yang ajaib ini selesai? Tentu saja tidak.
Pemilu di seluruh dunia menghasilkan “angka politik” tangga menuju singgasana kekuasaan. Angka politik itu harus didukung oleh tiga hal: 1. Kebenaran, 2. Kekuatan, dan 3. Moral.
Oleh sebab itu, angka politik (pemilu) yang hanya didukung kekuatan akan rontok jika berbenturan dengan “angka politik” yang didukung kebenaran dan moral.
Nah, senyawa “kebenaran dan moral” akan berubah menjadi “nuklir”, kekuatan rakyat yang tak pernah ada tandingnya.
Angka politik Qory Aquino yang didukung kekuatan kebenaran dan moral bisa ngalahkan angka Presiden Marcos di Filipina (1986) jadi legenda pemilu modern di dunia.
Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)
BERITA TERKAIT: