Di dalam Pasal 167 ayat (1) huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa, syarat Capres dan Cawapres berusia paling rendah 40 tahun, dan syarat umum yang penting dipahami benar adalah ketentuan yang menyatakan bahwa, bahwa Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 2), dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: a. mandiri; b. jujur; c. adil; d. berkepastian hukum; e. tertib; f. terbuka; proporsional; profesional; akuntabel; efektif; dan efisien (Pasal 3).
Keenam prinsip penyelenggaraan pemilu berdasarkan UU Pemilu tersebut merupakan dasar tata kelola penyelenggaraan pemilu yang disepakati pemerintah dan DPR RI sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat, baik secara sosial, politik, hukum maupun budaya yang seharusnya dihormati seluruh elemen pimpinan nasional termasuk penyelenggara negara, baik di bidang eksekutif, legislatif apalagi penyelenggara negara dalam bidang yudikatif.
Bahkan di dalam UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara eksplisit ditentukan syarat tambahan bahwa, hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang (Pasal 19), dan khususnya untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. adil; dan c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan (Pasal 33), dan di dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 19 ayat 1) dimana segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Ayat 2).
Sebaliknya, setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat 3).
Ketentuan yang penting diketahui dan bersifat strategis di dalam pertalian dengan Putusan MKRI atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/ 2023, telah ditentukan bahwa, adalah ketentuan yang menegaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 17 ayat 3).
Merujuk pada ketentuan-ketentuan di dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, jelas dan terang kiranya bagi bukan saja para ahli hukum, melainkan juga masyarakat awam hukum untuk sepakat menyimpulkan bahwa kemandirian dan integritas seorang hakim termasuk hakim konstitusi terletak pada pendirian dan sikapnya untuk harus dapat membedakan atau memisahkan secara tegas antara kepentingan
pro justitia demi keadilan dengan kepentingan pribadi atau keluarga atau kekerabatannya, termasuk kepentingan istri dan anak-anaknya jika dalam satu perkara terdapat keterlibatannya yang merupakan konflik kepentingan (
conflict of interest) dan dapat mempengaruhi putusannya; apa pun alasannya.
Kegagalan seorang Ketua MKRI, AU inilah menjadi penyebab munculnya berbagai reaksi bukan saja terhadap Hakim MKRI, AU akan tetapi kepercayaan masyarakat luas terhadap kewibawaan lembaga MKRI runtuh seketika dan putusan MKRI dalam perkara
a quo telah menjadi diskusi publik dan kini tengah menjalani sidang pemeriksaan MKMK dengan dugaan pelanggaran kode etik MKRI sehubungan Cawapres dari salah seorang kontestan adalah keponakan dari Ketua MKRI, AU.
Sekalipun Ketua Mahkamah Konstitusi, AU mengetahui sungguh-sungguh keterlibatannya dengan seorang Cawapres yang dicalonkan koalisi parpol tertentu dan tetap tidak mematuhi ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, maka secara jelas dan nyata bahwa Ketua MK, AU telah dengan sengaja dan secara melawan hukum melanggar Pasal 21 UU 28/1999 atau UU KKN tentang Larangan Nepotisme dan hakim MKRI sisanya melanggar ketentuan tentang kolusi.
Nepotisme adalah, setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Sedangkan kolusi adalah, permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
Jika terbukti kedua dugaan pelanggaran tersebut, baik terhadap tindak pidana nepotisme maupun kolusi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- dan paling banyak Rp1.000.000.000,-.
Tindak pidana kolusi dapat ditujukan terhadap kedelapan hakim MKRI karena memenuhi ketentuan dan larangan sebagaimana telah dinyatakan secara eksplisit di dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 21 UU KKN.
Di dalam ketentuan KUHP telah dicantumkan Pasal 55 KUHP yang mengatur siapa saja yang dapat dipidana karena melakukan suatu tindak pidana; yang melakukan tindak pidana itu sendiri; yang turut serta melakukan tindak pidana (
deelneming); yang disuruh melakukan tindak pidana, dan yang memberikan bantuan melakukan tindak pidana.
Keempat subjek pelaku tindak pidana tersebut
vis a vis tindak pidana nepotisme dan kolusi seharusnya dapat diterapkan terhadap kedelapan Hakim MKRI dalam perkara
a quo.
Namun demikian, tuntutan pidana hanya dapat dilaksanakan setelah putusan sidang MKMK selesai diputus yang menyatakan telah terjadi pelanggaran etik.
Putusan sidang MKMK, apa pun putusannya mengenai pelanggaran etiknya; tidak menghapuskan sifat melawan hukum atau membebaskannya dari tuntutan atas tindak pidana nepotisme dan kolusi.
Implikasi hukum sebagai konsekuensi logis dari analisis hukum pidana tersebut, maka tuntutan pidana terhadap kesembilan hakim MKRI tersebut mengakibatkan tidak sahnya putusan MKRI dalam perkara Nomor 90.
*Penulis adalah Gurubesar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
BERITA TERKAIT: