Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rational Choice Theory di Mutilasi Trosobo

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/djono-w-oesman-5'>DJONO W OESMAN</a>
OLEH: DJONO W OESMAN
  • Rabu, 14 Juni 2023, 11:07 WIB
Rational Choice Theory di Mutilasi Trosobo
Plastik kresek berisi potongan tubuh manusia di Trosobo, Sidoarjo/Net
POLISI meyakini, potongan badan pria yang ditemukan di Trosobo, Sidoarjo, klop dengan potongan dua kaki yang ditemukan di Sukolilo, Surabaya. Itu milik satu orang. Tapi, kepastiannya menunggu hasil tes DNA.

Kesimpulan polisi itu hasil rekonstruksi, atau pencocokan bentuk fisik. Belum uji pencocokan material jasad, disebut DNA (DeoxyriboNucleic Acid) yang masih diproses.

Kepala RS Bhayangkara, Pusdik Sabhara, Porong, AKBP dr Eko Yunianto yang meneliti potongan-potongan badan itu kepada wartawan, Selasa, 13 Juni 2023 mengatakan:

"Dari rekonstruksi, kami simpulkan mirip, dari sisi potongan maupun pola luka. Tapi kita belum bisa menyimpulkan apa ini satu individu. Menunggu hasil uji DNA."

Seperti diberitakan, ditemukan potongan badan pria tanpa dua tangan-dua kaki di Trosobo, Sidoarjo, Sabtu, 10 Juni 2023. Juga ditemukan potongan dua kaki (tidak termasuk dua tangan seperti ditulis kemarin, dengan ini tulisan kemarin diluruskan) di Kenpark, Jalan Sukolilo, Surabaya, Senin, 12 Juni 2023. Potongan badan dan kaki, klop.

AKBP Eko: "Apabila tidak ada temuan potongan lagi, kita segera mintakan untuk pemeriksaan DNA, baik itu di Labfor atau Pusdokkes. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa mendapatkan hasil."

Eko juga sudah sudah memastikan, mayat pria itu akibat pembunuhan, dengan luka bekas pukulan benda tumpul pada leher yang mematikan. Setelah mati, mayat dimutilasi.

Mutilasi sangat sering terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Kriminal biadab, mengerikan masyarakat. Tujuan pembunuhnya untuk menghilangkan jejak.

Dikutip dari Jurnal Ilmiah, Universitas Indonesia berjudul “Kejahatan mutilasi di Jakarta perspektif pilihan rasional dari lima pelaku” karya Mohammad Fadil Imran, disebutkan, sejak 1990 sampai 2010 ada 36 kasus pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia.

Lewat dari tahun 2010 tidak tercatat di karya ilmiah itu. Mutilasi terbanyak pada 2022. Berdasar catatan Polri, jumlah mutilasi terbanyak terjadi pada kurun Juni hingga September 2022 terjadi empat pembunuhan dengan mutilasi. Atau satu mutilasi per bulan.

Rinciannya, Juni 2022 seorang ayah berinisial R di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, membunuh dan memutilasi putri kandung yang berusia 7 tahun setelah bertengkar.

Pertengahan Juli 2022 di Ungaran, Jawa Tengah, seorang pria memutilasi pacarnya karena sakit hati setelah korban menyebutnya sebagai penganggur.

Agustus 2022 empat warga Mimika di Papua menjadi korban pembunuhan mutilasi Pada 9 September 2022 jasad tidak lengkap ditemukan di Pantai Marina, Semarang, Jawa Tengah. Belum terungkap.

Narasumber di karya ilmiah Fadil Imran (kini Irjen Fadil Imran menjabat Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri) ada lima pelaku mutilasi. Dari lima kasus, dua pelaku di Jakarta ditangkap tim polisi pimpinan Fadil saat menjabat Kapolres Jakarta Barat.

Dua pelaku itu adalah Ryan Jombang (2008) nama lengkapnya Very Idham Henyansyah asal Jombang, Jatim. Dan kasus mutilasi Baekuni alias Babe (2010).

Karya ilmiah itu berdasarkan disertasi Fadil dalam meraih gelar doktor kriminologi Universitas Indonesia, 2014.

Disebutkan, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui wawancara mendalam terhadap para pelaku, penyidik yang menangani, serta para orang dekat pelaku.

Wawancara dilakukan beberapa kali sampai data yang dikumpulkan oleh peneliti dirasa cukup. Observasi untuk melengkapi data, selain menelaah hasil dari BAP (Berita Acara Pemeriksaan) para pelaku.

Bahwa pelaku mutilasi memiliki kesamaan faktor dalam aspek sosio-demografi yaitu;

1) Pelaku adalah kaum urban.

2) Pelaku memiliki pendidikan yang rendah, dan

3) Pelaku berasal dari keluarga yang tidak harmonis.

Meskipun ditemukan motif yang berbeda-beda namun ternyata terdapat kesamaan motif di antara para pelaku mutilasi ini yaitu;

1) Antara pelaku dan korban memiliki hubungan yang dekat.

2) Pola pemikiran yang sederhana dari pelaku dalam memutuskan dilakukannya mutilas.

3) Pengambilan keputusan yang didasarkan pada terbatasnya informasi atau keterbatasan individu dalam menelaah informasi.

Selain faktor pencetus dan pendorong terdapat faktor lain yaitu dinamika yang terjadi ketika mayat tersebut hadir sebagai bentuk benda yang seharusnya tidak ada dan harus disingkirkan.

Keterbatasan rasional pelaku dalam menganalisa permasalahan yang ada membuat tindakan yang diambilnya (memutilasi) adalah hasil pengambilan keputusan sesaat, tanpa mempertimbangkan lagi kemungkinan lain.

Motif pelaku adalah menghilangkan jejak pembunuhan. Pelaku setelah membunuh, punya tiga pilihan: 1) Membiarkan korban pada tempat pembunuhan. 2) Membuang atau mengubur di suatu tempat. 3) Mutilasi untuk memudahkan pelaku mengangkut untuk dibuang di suatu tempat.

Fadil menggunakan analisis Rational Choice Theory (RCT) untuk menjelaskan fenomena tersebut. Artinya, pembunuh pemutilasi cocok dengan RCT.

RCT adalah teori sangat kuno. Dikutip dari buku karya Raymond Boudon bertajuk "Beyond Rational Choice Theory", teori ini dicetuskan ekonom politik dan filsuf Skotlandia, Adam Smith (16 Juni 1723 - 17 Juli 1790). Meskipun awalnya ini teori ekonomi, tapi kemudian digunakan juga di sosiologi dan kriminologi.

Inti RCT dalam kriminologi adalah, bahwa pelaku kriminal mengikuti proses pemikiran logis. Pelaku secara sadar menganalisis dan menimbang manfaat dan kerugian sebelum melakukan kejahatan.

Jika biaya yang dirasakan untuk melakukan kejahatan lebih besar daripada manfaat, sangat mungkin tidak dilakukan.

Artinya, semua pelaku kejahatan mengkalkulasi untung-rugi. Dalam hal ini, biaya adalah risiko jika tertangkap polisi dan dibui, atau dihakimi massa. Sedangkan hasil atau manfaat, cuma pelaku yang tahu besarannya.

Ditarik garis lebih mundur lagi, dasar pemikiran RCT adalah pemikiran Filsuf Inggris, Thomas Hobbes (5 April 1588 - 4 Desember 1679). Hobbes menyatakan, bahwa semua manusia mengejar kepentingan diri sendiri, dengan sedikit memperhatikan dampak pengejaran tersebut terhadap orang lain. Maka, harus ada individu atau lembaga pengekang tindakan kriminal manusia. Agar masyarakat tidak kacau.

Kesimpulan dari aneka teori di atas adalah, semua manusia ingin menangnya sendiri. Dengan sedikit memperhatikan dampaknya terhadap orang lain. Semua manusia mengkalkulasi tindakan mereka, termasuk membunuh. Jika untung dilakukan, jika tidak dibatalkan (niat melakukan kejahatan).

Pastinya, ini analisis kriminologi. Sebaliknya bagi pelaku kejahatan, tidak merasakan bahwa ia berpikir rasional mendalam untung-rugi. Penjahatnya bertindak setelah berpikir sejenak dan dirasa menguntungkan, maka dilakukan.

Mutilasi, lebih sulit diungkap polisi dibanding pembunuhan yang korbannya ditinggalkan di TKP. Sedangkan biaya mutilasi adalah membeli gergaji atau alat pemotong tulang manusia. Imbalan bagi pembunuh, sulit ditangkap polisi. Kalkulasinya, harga gergaji berbanding dengan risiko dibui.

Maka, pembunuh pilih mutilasi. Biaya lebih murah dibanding hasil. Cocok dengan RCT.

Walaupun RCT dilawan oleh teori berikutnya (sebagai anti-tesa) yang menyatakan, RCT tidak berlaku bagi pembunuh gila. Orang gila membunuh, pasti tanpa mikir untung-rugi. Langsung bunuh.

Kasus mutilasi, badan di Trosobo kaki di Sukolilo, kata AKBP dr Eko, diperkirakan dilakukan pembunuh ahli anatomi tubuh manusia. Sebab, di empat titik potongan persis pada persendian. Efektif dan rapi. Pelakunya pasti bukan orang gila.

Kini tugas polisi mengungkap itu, di antara beberapa kasus mutilasi yang belum terungkap. Menyitir kata Thomas Hobbes, agar masyarakat tidak kacau. rmol news logo article

Penulis adalah Wartawan Senior
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.