Orientasi politik esensinya adalah upaya memperoleh kuasa sekaligus mempertahankan masa berkuasa.
Kemunculan para kandidat, adalah sebuah keniscayaan dalam demokrasi, karena pergantian kekuasaan merupakan bagian makna dalam kehidupan berdemokrasi. Tidak lama berselang setelah pengumuman tersebut, ramai media massa meliput kegiatan para elite politik yang menjalin komunikasi.
Relasi di antara para aktor politik, tidak hanya kompleks sekaligus rumit, karena semua pihak berada pada tujuan yang sama, yakni berkuasa dan berharap ada dalam gelanggang kekuasaan.
Tokoh dan partai politik kemudian berlomba merumuskan model koalisi, menjajaki penggabungan kekuatan, melakukan simulasi kemenangan. Indikatornya adalah hasil kuantitatif survei, pengukuran dilakukan untuk memastikan keterpilihan. Tersebab itu pula, maka kandidat disorongkan berdasarkan popularitas serta elektabilitas.
Ukuran keterkenalan dan potensi keterpilihan inilah yang membuat partai politik menimbang seorang calon pemimpin. Padahal dibutuhkan kualitas, bukan sekedar kuantitas.
Apa visi kepemimpinan? Bagaimana persoalan publik diselesaikan? Hal-hal tersebut menjadi lebih penting untuk dibahas.
Lalu apa yang tertinggal? Sesungguhnya partai politik seharusnya menjadi kanalisasi suara politik publik, meski dalam realitanya bisa jadi tidak demikian.
Pernyataan bahwa wakil rakyat hanya akan nurut instruksi pemilik partai, disampaikan pada kesempatan terbuka, membuat ilustrasi tentang partai politik tidak ubahnya bak relasi kuasa sebuah perusahaan.
Tidak ada yang benar-benar mewakili amanat serta aspirasi publik. Di balik para kandidat, ada tangan-tangan kuasa yang memainkan gerak terselubung.
Sementara itu, para pendukung kemudian membentuk barisan, membangun barikade, memastikan kandidat pilihannya memenangi kontestasi. Melakukan siasat perang gerilya kampanye.
Saat ini di media sosial, ruang publik kembali mulai menghangat. Riuh rendah dukungan mengemuka. Padahal konsep kepemimpinan yang akan diajukan belumlah terbaca.
Para pemuja membela sekuat tenaga, sementara penentangnya hanya melihat sisi yang berbeda. Sedangkan pemilih kritis akan menimbang program yang akan ditawarkan.
Keterbelahan bukan tidak mungkin kembali terjadi. Bila kemudian pentas politik hanya menyisakan luka sosial dan potensi konflik, apa yang hendak kita harapkan?
Sesaat setelah kandidat diumumkan, secara praktis yang dilakukan adalah konsolidasi untuk pemenangan, agenda serta isu publik terang benderang dikesampingkan. Tema tentang hajat publik, hanya menjadi pelengkap isu pada
show debat kandidat, yang kerap kali tidak berpengaruh signifikan pada masa pemilihan.
Tidaklah benar karena masa pemilihan masih terlalu lama, dan masa kampanye belum dimulai maka konsep kampanye belumlah bisa dimunculkan. Justru kita perlu mendapatkan pemikiran-pemikiran baru yang mendalam, guna mengatasi problematika kehidupan sosial kita.
Manakala faktor politik yang didorong ke publik hanya mengedepankan aspek sentimental dan emosional, sementara edukasi rasional terabaikan, kita sesungguhnya tengah menghitung mundur peradaban.
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
BERITA TERKAIT: