Makna “dalam persidangan berikut†adalah masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat setelah Perppu itu terbit. Faktanya, hingga masa sidang berakhir (16 Februari 2023), tidak ada keputusan DPR yang menyetujui Perppu Cipta Kerja. Sementara, sebagaimana kita tahu, masa sidang DPR setelah penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah 10 Januari-16 Februari 2023.
Dalam kajian hukum tata negara, persetujuan DPR RI sesungguhnya merupakan sebuah kewenangan untuk mengawasi kewenangan dan tindakan presiden dalam pembentukan Perppu. DPR RI akan menilai; apakah subjektifitas Presiden RI menafsirkan ‘kegentingan memaksa’ (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945) dalam membentuk Perppu dapat dibenarkan atau tidak.
Ujung-ujungnya, apakah persidangan DPR RI akan menerima atau justru menolak Perppu tersebut menjadi Undang-undang. Jika mendapat persetujuan, maka Perppu akan menjadi Undang-undang. Sebaliknya, jika tidak, maka Perppu harus dicabut.
Dalam Pasal 3 UUD 1945, disebutkan dengan tegas: “ Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabutâ€. Karena itu, persetujuan DPR RI menjadi kunci. Dan jika melihat fakta yang terjadi dalam Perppu Cipta Kerja sekarang ini, maka tiadanya persetujuan DPR menjadikan Perppu ini harus dicabut.
Memang, dalam rapat Baleg tanggal 15 Februari 2023, sebagian anggota DPR telah menyetujui Perppu Cipta Kerja, namun demikian ini bukan Rapat Paripurna DPR sehingga tidak dapat dijadikan argumentasi bahwa Perppu ini telah mendapat persetujuan DPR RI. Walhasil, Perppu ini tidak mendapat persetujuan DPR RI.
Semua ini menegaskan bahwa Perppu Cipta Kerja yang sudah dicabut ini tidak dapat digunakan. Lalu, bagaimana dengan implikasi hukum Perppu yang dicabut ini? Misalnya, akankah kita kembali pada produk hukum sebelum Perppu ini?
Implikasi Hukum Ketika Perppu Cipta Kerja DicabutSelain Perppu Cipta Kerja yang dicabut, at least terdapat produk hukum lain yang juga dicabut keberlakuannya. Yaitu UU Cipta Kerja dan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut UU Cipta Kerja sebagai ‘Inkonstitusional bersyarat’.
Sama halnya dengan Perppu Cipta Kerja yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, maka UU 11/2020 tentang Cipta Kerja juga tidak lagi berlaku. Artinya segala produk Undang-Undang Cipta Kerja juga tidak bisa digunakan.
Pemerintah juga tidak bisa kembali ke Undang-Undang Cipta Kerja dalam semua rujukan produk hukumnya karena Undang-undang ini telah batal demi hukum. Sehingga, kembali pada UU ini ketika Perppu Cipta Kerja dicabut adalah sebuah keabsurdan. Semua item dalam UU Cipta Kerja inipun batal dan tidak berlaku.
Demikian juga dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Inkonstitusional bersyarat terhadap Undang-Undang Cipta Kerja melalui Putusan Nomor 91/PUU/XIX/2021 . Amar putusan Mahkamah Konstitusi juga menyebut bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan tersebutâ€.
Artinya, pemerintah juga tidak bisa kembali mengotak-atik UU Cipta Kerja agar direvisi sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dua tahun yang silam. Karena putusan MK juga sudah tidak lagi relevan digunakan dan tentu saja juga tidak berlaku.
Walhasil, semua jalan terkait UU Cipta Kerja, Keputusan MK dan Perppu Cipta Kerja sudah tidak berlaku lagi. Semua pintu telah ditutup dengan tidak disetujuinya Perppu Cipta Kerja tahun 2022 tersebut pada awal persidangan DPR pasca penerbitan Perppu.
Melanggar Konstitusi= Pemakzulan Presiden?Karena tidak ada Undang-Undang yang mencabut Perppu Cipta Kerja karena Presiden maupun DPR tidak mengajukan RUU Pencabutannya, maka berarti Presiden Jokowi lagi-lagi mengabaikan UUD 1945, undang-undang dan peraturan lain sesuai dengan lafadz sumpah jabatan berikut: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa†. (Pasal 9 UUD 1945).
Memang, tidak mudah untuk mengarahkan pelanggaran konstitusi ini menuju pemakzulan Presiden, sebagaimana diangankan sebagian pihak. Karena pelanggaran konstitusi ini tidak secara otomatis berkorelasi dengan kehendak para anggota DPR RI.
Apalagi, realitas DPR RI yang hari ini menjadi bagian dari koalisi gemuk pemerintah sekarang, menjadikan pemakzulan adalah kemustahilan untuk tidak menyebutnya sebuah utopia belaka.
Dalam Pasal 7 A UUD 1945 disebutkan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presidenâ€.
Tidak cukup melalui usulan DPR, pemakzulan terhadap presiden masih harus melibatkan Mahkamah Konstitusi RI. Artinya, usulan pemakzulan Presiden masih harus diajukan permintaannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Di sini, Mahkamah Konstitusi akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud telah melakukan pelanggaran hukum atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden. (Pasal 7 B UUD 1945).
Hanya saja, Presiden tidak boleh gegabah dan memandang remeh hal berikut ini. Karena pelanggaran konstitusi (apalagi berkali-kali) akan mengurangi trust Presiden RI dan sekaligus mengurangi indeks kepatuhan hukum di negeri ini.
Jangan remehkan pula
civil society yang sewaktu-waktu bergerak karena konstitusi yang dilanggar. Jangan pula abaikan DPR yang tiba-tiba dapat berubah arah angin dengan berkonsolidasi ‘melawan’ Presiden RI yang melanggar konstitusi. Karena, pelanggaran terhadap konstitusi akan menjadi bom waktu.
Wallahu’alam.
*
Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember dan Ketua PP APHTN-HAN
BERITA TERKAIT: