Selama ini, wawasan keislaman cenderung diabaikan, padahal 55 negara dunia disebut-sebut sebagai negara muslim. Selanjutnya, wawasan keislaman yang dimaksud PBNU adalah hukum Islam atau yang juga kita kenal dengan fikih.
Dus, fikih yang diajukan adalah fikih baru yang berbeda dengan fiqih pada umumnya dan dijadikan pondasi dalam membangun tatanan dunia yang berkeadilan sosial. Meski kita tahu, bahwa fikih baru ini lahir dari rahim fikih siyasah.
Dalam keputusan yang dibacakan KH. Mustofa Bisri dan Yenny Wahid dalam resepsi 1 abad NU di GOR Delta Sidoarjo (7/2), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengajak umat Islam tentang wacana fikih yang akan dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antar golongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan antara manusia, budaya dan bangsa-bangsa dunia.
Selain itu, PBNU juga menyuguhkan fikih yang mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sunggul adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara dan martabat setiap umat manusia.
Lebih lanjut, PBNU memandang bahwa Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan piagamnya memang bukan sesuatu yang sempurna disamping diakui masih mengandung masalah hingga saat ini.
Namun, piagam PBB sejak awal dimaksudkan sebagai upaya mengakhiri perang dengan praktik-praktiknya yang biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah manusia. Karena itu, bagi PBNU, Piagam PBB dan PBB itu sendiri menjadi dasar yang paling kokoh untuk mengembangkan fikih baru guna masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis.
Pada sisi lain, PBNU menolak khilafah yang justru bertolak belakang dengan cita-cita Syariat Islam karena khilafah hanya akan menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial politik.
Bagi PBNU, jika pun akhirnya khilafah itu berhasil, maka usaha tersebut akan menyebabkan runtuhnya sistem nation state dan menyebabkan konflik dan kekerasan yang akan menimpa sebagian besar wilayah di dunia. Sejarah mencatat, kekacauan akibat peperangan selalu dibarengi penghancuran rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga dan harta benda.
Fikih Baru dan Inspirasi Norma Hukum Internasional Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i praktis yang merupakan hasil ijtihad para ulama melalui dalil-dalil yang terperinci (Abd Wahab Khalaf/1978). Fiqih selama ini telah menjadi warna dalam peradaban Indonesia, baik berupa
living laws (hukum yang hidup di tengah masyarakat) maupun berbentuk positif laws (hukum positif yang telah berlaku di negara kita dalam bentuk undang-undang). Pada level global, fikih diangankan dapat memberikan kontribusi pada peradaban dunia, terutama pada aspek legal formal-etis masyarakat dunia.
Hanya saja, kontribusi fikih di sini belum bersifat mengikat karena fikih belum menjadi norma. Oleh karena itu, Fikih tidak mengikat, kecuali ia telah menjadi norma hukum dalam perjanjian lembaga-lembaga internasional. Fikih, oleh karenanya, bisa didorong untuk menjadi moral-etis dalam hukum internasional.
Hukum internasional, menurut Mochtar Kusumaatmaja (1982), adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan internasional) yang bukan perdata. Sementara, John O’brien (2001) mengemukakan bahwa hukum internasional adalah sistem hukum yang terutama berkaitan dengan dengan hubungan antar negara.
Dalam kaitan fikih dan hukum internasional, kita bisa mengajukan pertanyaan: bagaimana kekuatan hukum perjanjian internasional perspektif Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum Islam? Demikian juga, fikih dapat digunakan sebagai teropong untuk melihat Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Duham). Bagaimana Duham perspektif fikih? Jawaban pertanyaan pertama bisa dilihat dari
hadits al-muslimuna ala syuruutihim.
Sejauh tentang kebaikan dan hal yang diperkenankan dalam Islam, maka perjanjian internasional diperbolehkan dan tentu saja mengikat pada sejumlah pihak. Jawaban kedua, bahwa Duham sudah sesuai fikih. Konsep
ad dlaruriyat al-khams (lima hal pokok yang dijaga dalam Islam) dalam Ushul Fikih sudah sesuai dengan DUHAM Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Adalah menarik juga pandangan fikih tentang Statuta Roma tahun 1948. Dalam statuta ini, terdapat empat pelangggaran berat yang diajukan dalam Mahkamah Internasional. Keempatnya adalah
the crime of genocide (kejahatan genosida), Crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan),
war crimes (kejahatan perang) dan
the crime of aggression (kejahatan agresi).

Baik yang meratifikasi atau tidak, semua negara terikat dengan Statua Roma yang merupakan Hukum Kebiasaan Internasional. Pertanyaan lalu, bagaimana pandangan fikih soal ini? Fikih dipastikan menolak
jarimah (kejahatan) besar ini dengan segala bentuknya.
Isu hukum internasional yang lain adalah relevansi fikih dengan Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs ini sendiri merupakan kelanjutan dari MDGs (Milenium Development Goals). Jika DUHAM lebih merupakan hak asasi manusia, maka pelaksanaan SDGs sesunggunya merupakan kewajiban asasi manusia.
Bagaimana pandangan kaitan fikih terhadap SDGs ? Bagaimana pandangan fikih tentang 17 goalsnya SDGs ? Jika dilihat dengan seksama, maka terma
sustainable development goals sangat sesuai dengan
maqashid syariah dan masih banyak kajian-kajian menarik antar hukum Islam dengan hukum internasional.
Piagam PBB yang ‘Belum Tuntas’ Kita harus membedakan hukum internasional dengan praktik hukum internasional seperti dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Praktiknya, memang masih jauh dari ideal. PBB masih dianggap ‘masalah’ justru oleh sebagian negara. Daniel Mohammad Rosyid (Surabaya Post, 9/2/2023) misalnya menyebut bahwa selama 70 tahun lebih di bawah PBB, kita menyaksikan perang Vietnam dan Korea.
Selanjutnya, pada awal abad 21, kita juga melihat penghancuran Syiria, Iraq, Libya, dan pendudukan Afganistan oleh Rusia dan kekuatan-kekuatan Barat di bawah slogan demokrasi. Tentang demokrasi misalnya, Noam Chomsky menyebut bahwa organisasi yang paling berbahaya adalah Partai Republik AS, bukan ISIS, al-Qaidah maupun HTI. Belum tentang ketegangan Korea Utara dan Korea Selatan yang hingga kini, PBB hampir nihil mencapai solusinya.
Dalam pandangan hemat saya, Daniel mengeneralisir tentang PBB dan Piagam PBB. Karena apa yang dikritik Daniel sesungguhnya adalah sikap-sikap negara Adidaya dalam PBB yang dianggap sebagai fraud totalitas PBB itu sendiri.
Daniel seharusnya membedakan naskah normatif piagam PBB dalam kacamata akademik yang objektif dengan implementasi Piagam PBB yang masih jauh dari ideal. Makanya, dalam diktum keputusannya, PBNU menyebut PBB dan Piagam PBB masih ‘bermasalah’ dan tentunya perlu diperbaiki dimasa-masa yang akan datang.
Saya kira, diktum keputusan PBNU sudah tepat bahwa “PBNU memandang bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan piagamnya tidaklah sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat iniâ€. Artinya, PBNU mengakui legalitas PBB dan Piagamnya namun PBNU juga menjaga jarak secara kritis dengan apa yang dilakukan PBB selama ini.
Sebagai pondasi awal, PBB penting dan harus dikokohkan karena menjadi kalimatun sawa antar berbagai kalangan masyarakat dunia. Namun, sebagai praksis yang sudah 70 tahun lamanya, PBB harus ada kritik dan diberi masukan yang membangun agar on the right track.
Ke depan, Muktamar Internasional Fiqih Peradaban PBNU harus digerakkan secara masif dengan lebih memberikan warna-warni yang mampu menjadikan praksis piagam PBB menjadi lebih dekat dengan idealisme kita bersama; umat Islam dan warga dunia.
Muktamar Fikih Peradaban lanjutan (kedua dan seterusnya) perlu melihat secara kritis bagaimana praksis PBB dalam tatanan dunia baru. Saya kira, ini agenda lanjutan yang layak diseriusi oleh para ulama dunia di masa-masa yang akan datang.
Wallahu’alam.
*
Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember dan Gurubesar UIN KHAS Jember
BERITA TERKAIT: