Tujuannya, agar lebih memperoleh simpatik majelis hakim, setidaknya tak ada kebencian kepada Sambo. Lebih khusus lagi untuk membawa Majelis Hakim memahami latar belakang tindakan Sambo.
Isinya kurang lebih intinya sebagai berikut.
Majelis hakim yang Mulia, Sejak kecil saya sudah bercita-cita menjadi polisi. Dari daerah kelahiran saya Barru, Toraja, Sulawesi Selatan, saya senantiasa membayangkan bangganya menjadi polisi. Oleh sebab itu selepas SMA tanpa ragu saya langsung masuk ke Akademi Kepolisian.
Betapa bangganya saya diterima di lembaga penegak hukum itu. Sesudah saya lulus tahun 1994, saya mengabdikan seluruh hidup saya hanya kepada kepolisian. Tugas apapun, saya kerjakan dengan optimal, betapapun muskil dan bahayanya tugas itu. Dalam menjalankan tugas polisi, saya tak pernah mengenal rasa takut kepada manusia manapun. Nyawa dan keselamatan saya serahkan demi penegakkan hukum. Pengabdian saya kepada polisi total tanpa reserve sedikitpun.
Dalam menjalankan tugas, saya hanya tunduk dan taat kepada atasan saya. Soal kepercayaan saya kepada Tuhan tentu tak diragukan. Secara keagamaan saya menyerahkan seluruh jalan hidup saya sejak awal kepada Tuhan. Tapi dalam tataran hubungan antara manusia, dalam tugas-tugas kepolisian, saya tegak lurus mengabdi kepada polisi. Atasan selalu menjadi panutan saya.
Maka, saya bersyukur jika kemudian saya dilapangkan jalan dapat meraih bintang dua, bahkan pemangku bintang dua termuda di lingkungan Polri. Saya juga diberikan kepercayaan sebagai Kepala Propam. Jabatan yang saya pangku dengan bangga , dan menegakkan etika dan hukum secara konsisten, tegas dan keras.
Tetapi saya juga manusia ciptaan Tuhan. Manusia yang diberikan kekuatan dan kelemahan. Bahkan kelemahan yang semula sama sekali tidak saya sadari sendiri. Kelemahan mahluk ciptaan Tuhan yang bukan hanya terdiri dari darah daging , melainkan juga dari jiwa manusiawi.
Begitu mengalami kejadian di keluarga saya, jiwa saya terguncang hebat. Jiwa saya seperti hancur berantakan seketika. Ada rasa luka batin yang tidak terhingga. Betapa hancurnya harga diri saya. Rasanya sedemikian perih di hati ini. Jiwa hamba Tuhan ini bagaikan melayang-layang.
Didorong rasa kecewa yang sangat luar biasa, yang membuat diri saya sebenarnya sudah hancur, boleh dibilang tanpa direncanakan tanpa saya sadari, tapi karena jiwa yang masih terlilit keping-keping keperihan, saya mengambil serangkaian tindakan di bawah bayang-bayang kehampaan jiwa. Terjadilah peristiwa yang membuat gaduh negeri ini. Peristiwa yang mencoreng Polri. Semua saya lakukan ketika jiwa saya luluh lantah. Jiwa yang kosong. Jiwa yang sudah berada di luar kendali saya.
Bayangkanlah kalau peristiwa yang saya alami terjadi di keluarga majelis hakim. Terjadi pada keluarga kita semua. Seluruh proses rangkaian tindakan tersebut, terjadi karena jiwa saya sedang dibalut luka maha perih. Itu merupakan jeritan hati saya yang tidak dapat saya tahan lagi. Dengan kata lain, perbuatan tersebut merupakan perbuatan di bawah sadar saya. Di bawah tekanan kejiwaan yang maha hebat. Itu tindakan dari jiwa yang terguncang! Waktu itu saya dilingkari perasaan harkat dan martabat saya tidak dapat diganti dengan apapun.
Majelis yang Mulia,
Setelah saya melakukannya, barulah saya tersadar. Saya terhentak. Betapa terkejutnya saya. Betapa shocknya saya. Maka betapa paniknya saya. Dari sanalah kemudian saya mulai secara sadar mengatur cerita agar saya dapat bebas dari hukuman. Manakala sehari setelah kejadian saya melaporkan kepada pimpinan tertinggi Polri, saya masih membeberkan cerita yang saya buat. Bukan kejadian yang sesungguhnya.
Saya mengakui hal tersebut merupakan rekayasa untuk menghalang-halangi penyidikan. Dengan sadar saya melakukan berbagai skenario mengenai apa yang terjadi. Saya seorang ksatria. Seorang yang tak mau lari dari tanggung jawab. Tangan kita yang berbuat, bahu kita yang memikul. Saya dengan besar hati mengakui perbuatan tersebut.
Majelis hakim yang Mulia,
Pada kesempatan ini saya sekali lagi ingin mohon maaf sebesar-besarnya kepada pimpinan Polri beserta seluruh anggota Polri atas tindakan saya menghebohkan dan mencoreng citra polisi. Dari dalam hati saya yang mendalam, saya juga mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat luas terhadap semua perbuatan saya.
Saya mengharapkan majelis hakim yang Mulia dapat memahami tidakan di bawah sadar saya. Dapat melihat kejadian dalam kontes yang relevan dan tidak terlepas dari goncangan jiwa manusia ciptaan dan hamba Tuhan. Saya juga berharap agar Majelis Hakim juga masih menghargai keterbukaan dan kejujuran saya.
Saya percaya Majelis Hakim yang mulia masih memiliki hati nurani. Saya percaya majelis Hakim Yang mulia dalam memeriksa perkara ini tidak terpengaruh tekanan yang mungkin ada dari masyarakat. Saya juga percaya Majelis hakim hanya akan menjatuhkan vonis dengan menjunjung tinggi keadilan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Terima kasih
Ferdy Sambo.
*Penulis adalah advokat
BERITA TERKAIT: