Romo Markus Solo Kewuta SVD, atau Padre Marco, telah menunggu kami di pintu belakang Basilika Santo Petrus di Vatikan. Beliau dengan sangat ramah dan bersahabat menyapa rombongan kami dari Kementerian Agama Republik Indonesia.
Romo Markus adalah orang Indonesia kelahiran Flores yang menjadi pejabat di Vatikan yang bertugas sebagai salah satu staf penasihat di Dewan Dialog antarumat beragama di Kepausan. Romo ini pernah berbakti di Wina Austria, sebelum dipanggil ke Vatikan.
Delegasi kami merasa sangat beruntung mendapat pengetahuan dan kemurahan hati dari Romo Markus tentang seluk-beluk Basilika. Tentu karena rombongan kami rata-rata muslim akan selalu cenderung membandingkan fenomena di Basilika dengan iman dan praktik ibadah Islam, seperti Basilika dan Masjid Al-Haram atau masjid-masjid lainnya, kuburan para Santo dengan para wali di Tanah Air.
Kami bersama masuk basilika yang megah itu, langsung menuju altar megah Confessio yang dirancang oleh seniman terkenal masa renaisanse Michaelangelo (1475-1564). Para pengunjung tidak terlalu ramai karena hari sudah sore.
Biasanya jam segitu pengunjung tidak diperkenankan masuk, namun karena kami delegasi dari pemerintah resmi dan dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Vatikan, kami diperkenankan belajar banyak tentang Basilika itu.
Setelah masuk di dalam kami melihat ke atas sangat tinggi. Kami tertegun pada ornamen, bentuk, ikon, tulisan-tulisan dalam bahasa dan huruf Latin kuno. Ikon orang-orang suci, Santo dan Paus menghiasi ruang-ruang di tembok. Berbagai salib didapati. Kata-kata suci melingkar di atas kubah.
Tu es Petrus et super hanc petram aedificabo ecclesiam mean et tibi dabo claves caelorum (Engkau Petrus dan di atas batu ini akan aku bangun gereja). Romo Markus menerangkan bahwa itu kutipan dari Kitab Perjanjian Baru Matius 16:18-19. Bentuknya secara umum dirancang secara arsitektural Basilika memang seperti salib secara.
Romo Markus orangnya sabar, tenang, dan murah hati dalam berbagi berbagi kilasan sejarah dan fungsi berbagai ornamen dan ikon, dan membimbing delegasi Indonesia untuk mengunjungi sudut-sudut Basilika.
Kami diajak ke bawah menuju makam para orang suci, para Paus masa lalu, dan diterangkan peran masing-masing tokoh dan bagaimana umat menghormatinya. Tentu makam utama adalah Santo Petrus dengan salib terbaliknya.
Di samping makam juga ada ruangan-ruangan tempat berdoa bersama. Romo Markus menerangkan bahwa ritual dan berdoa dengan menyentuh langsung atau hadir pada makam orang-orang suci menambah kekhusukan dan keyakinan.
Kami muslim di Indonesia tentu membayangkan dan membandingkan dengan fenomena ziarah kubur dan tradisi tahlilan dan semacamnya. Makam-makam di Indonesia banyak yang dianggap suci dan dikunjungi para peziarah untuk berdoa di sana.
Pengalaman keimanan yang dibandingkan dengan agama lain memang menarik, apalagi Romo Markus sendiri membidangi itu. Gelar doktor beliau sendiri tentang dialog antariman dari Universitas Kal-Franzens Innsbruck, Austria Jerman dengan predikat
summa cumlaude, dengan disertasi berjudul "
Der ostflorinesische Gott und Gott Jesu Christi" -
Die Suche nach theologisch-spirituellen Grundsätzen für den Dialog, (Ketuhanan Flores Timur dan ketuhanan Jesus Kristus, usaha menjadi prinsip teologis spiritual dialog).
Menyusuri Basilika dengan bimbingan Romo Markus merupakan anugerah tersendiri, di samping otoritas dan pengetahuannya yang luas, dengan rentetan sejarah yang siap selalu menjawab kami, beliau murah dalam berbagi dengan semangat dialog.
Penulis sendiri selalu membandingkan makam-makam para santo dan Paus itu dengan fenomena makam-makam yang diziarahi dalam Islam, seperti Walisongo. Bedanya, di bawah lantai Basilika, yang disebut Katakombe makam itu menjadi satu tempat sehingga berkunjungnya mudah.
Sekali kunjungan mendapatkan banyak makam. Ada lebih dari sembilan puluh makam para Paus. Ada 266 Paus sudah memimpin Katolik di dunia sejak Santo Petrus.
Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas mengingat sejarah bahwa konon Santo Petrus disalib secara terbalik. Romo Markus mengiyakan dan kagum dengan ingatan sejarah itu.
Romo Markus menambahi bahwa salib terbalik itu sesuai dengan permintaan Santo Petrus sendiri yang merasa tidak pantas untuk disalib dengan posisi normal menyerupai Yesus. Itu rasa
tawadu, atau rendah hati dari Sang Santo.
Romo Markus menambahkan bahwa Santo Petrus sendiri sempat lari dari penjara Kaisar Nero. Namun Sang Santo mendapat anugerah penglihatan mukjizat. Sang Santo merasa tersindir tentang penderitaan dan perjuangan, sebagaimana Yesus (Nabi Isa) adalah simbol pengorbanan hakiki.
Sang Santo merasa bahwa penderitaan dia tidak sebanding dengan Yesus, yang menerima titah untuk berkorban demi manusia.
Rombongan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Kiai Yahya Cholil Staquf yang selalu membimbing kami dan Ketua PBNU, Dirjen Plt Bimas Katolik Albertus Magnus Aridyanto Sumardjono, Stafsus Menteri Agama Abdul Qodir, Dutabesar Indonesia di Vatikan Laurentius Amrih Jinangkung dan penulis sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga mempunyai niat untuk memupuk persaudaraan antariman, antarmanusia, dengan semangat toleransi dan kerja sama.
UIN Sunan Kalijaga akan berkontribusi dalam menganugerahi gelar untuk Vatikan dan pemimpin Islam di Indonesia agar pesan perdamaian dan persaudaraan di dengar dunia.
Kunjungan ke Basilika adalah awal yang baik tentang dialog dan saling memahami pengalaman keagamaan Islam dan Katolik. Pada ruangan terakhir yang kami kunjungi terdapat karya agung dari seniman Michealangelo yang berjudul Pieta. Karya ini adalah pahatan marmer Bunda Maria yang menerima anaknya Yesus dari tiang salib.
Ekspresi kesedihan dan kesegaran tubuh, serta bagaimana hubungan ibu dan anak, dan kesan keagamaan tertangkap. Bagi yang beriman pada Katolik ini adalah salah satu dari model kekhusukan.
Bagi yang beriman muslim ini adalah ekspresi keagamaan yang sama dengan membaca Sirah Nabawiyah (perjalanan Sang Nabi) dalam berjuang menegakkan pesan Tuhan.
Romo Markus menerangkan bahwa karya Pieta konon sempat dibawa ke New York, Amerika untuk pameran 1964-1965, tetapi cepat-cepat ditarik dan dikembalikan ke Basilika Vatikan, karena khawatir terhadap minat para pemirsa pada karya itu akan tak terkendali.
Konon, karya itu sempat rusak bagian tangan dan kakinya karena amukan orang yang berkunjung. Kini karya itu dilindungi kaca tebal, para pengunjung tidak bisa menyentuhnya.
Pieta adalah simbol pengorbanan Nabi bagi umatnya. Pieta memperlihatkan cinta kasih Ibu pada putranya. Rasa relasi antara Tuhan dan manusia, ibu dan anak, dan rasa cinta yang lain yang bisa kita teruskan dengan memperkuat relasi antarumat beragama.
Peristiwa dalam Pieta bisa jadi merujuk pada peristiwa tertentu dua ribu tahun yang lalu di tanah suci Jerusalem yang dipahat lima ratus tahun yang lalu.
Makna itu bisa diperkaya pada konteks dialog antarumat beragama, setidaknya antara Katolik dan Islam, dan bisa dikembangkan semua umat beragama dalam konteks dunia dan Indonesia.
Kita membutuhkan karya Pieta dan kunjungan ke Basilika menyegarkan persaudaraan antarkita.
Penulis adalah Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
BERITA TERKAIT: