Pendidikan kita memerlukan perhatian lebih luas dan serius lagi. Tantangan pendidikan secara nasional dan global nyata dan pemikiran dari semua elemen bangsa dibutuhkan.
RUU itu terdiri dari sembilan belas bab dan lima puluh lima pasal. Susunan RUU ini cukup sistematis dan mudah dipahami. Isi terdiri dari cakupan luas tentang pendidikan. Pembahasan dari bab ke bab dan pasal ke pasal mengungkap hal-hal mendasar yang berkait dengan pendidikan nasional dari fungsi, tujuan, prinsip, jalur, jenis, jenjang, kurikulum, evaluasi dan lembaga.
Pembaca akan tertolong dengan pembagian bab demi bab dan pasal demi pasal yang jelas. Maka para pembaca akan mudah mencermati gagasan, praktik, dan usulan agar sesuai antara kenyataan dan cita-cita pendidikan nasional.
Bab lima menarik untuk dicermati. Tujuh prinsip yang dicantumkan di bab itu: a. berorientasi pada pelajar; b. menjunjung tinggi kebenaran ilmiah; c. demokratis; d. berkeadilan; e. nondiskriminatif; f. inklusif; dan g. mendukung pembelajaran sepanjang hayat.
Tentu ketujuh prinsip itu mulia semuanya dan sesuai dengan cita-cita manusia dan bangsa Indonesia. Namun pembaca perlu juga melihat bagaimana prinsip-prinsip itu diejawantahkan di masing-masing bab. Apresiasi terhadap kejelasan prinsip-prinsip itu dalam bab dan ayat-ayat selanjutnya perlu mendapatkan perenungan.
Dua prinsip utama mungkin bisa menjawab tantangan yang dihadapi bangsa kita, yaitu nondiskriminatif dan iklusif. Jika ini dikaitkan dengan pasal 56 menarik.
Pasal tersebut menerangkan jenjang dan jenis pada pendidikan tinggi, yaitu: a. akademik b. keagamaan, c. vokasi, d. profesi, e, kedinasan. Khusus pada kaitan antara nondiskriminatif dan inklusif pada jenis pendidikan keagamaan perlu mendapatkan perenungan agar lebih sesuai lagi dengan kondisi bangsa saat ini.
Pendidikan keagamaan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi perlu perluasan untuk menjaga kondisi demokrasi dan berkeadilan, dalam prinsip pasal lima tersebut. Bahkan kita perlu melakukan hal-hal yang mencegah adanya cakupan parsial dan agar kita arahkan pada prinsip inklusif.
Pendidikan agama di Indonesia hingga kini masih berorientasi pada dogma dan doktrin, bahkan simbol-simbol saja. Kondisi ini perlu mendapatkan perenungan lebih mendalam lagi, terutama kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sangat terkait dengan faktor keagamaan dalam semua aspek dan lapisan kehidupan.
Dogma, doktrin, dan simbol mengarahkan kita hanya pada penghafalan dan pengulangan semata, belum pada dimensi perenungan yang luas dan pemikiran yang kritis pada tradisi keagamaan.
RUU yang baru secara prinsip sudah menyinggung dua prinsip utama: nondiskriminatif dan inklusif. Namun perlu penajaman lagi pada aspek praktek nyata baik pada jenjang pendidikan dasar maupun perguruan tinggi.
Berfikir analitik dan kritis perlu ditekankan lagi agar jika menyangkut agama tidak lagi pada hal-hal yang tampak saja (lahiriyah), dan hal-hal yang lebih substantif dan esensial jangan terlupakan. Moral keagamaan perlu juga ditanamkan agar teologi tidak hanya secara formal dihafal, tetapi bagaimana praktek dalam kehidupan nyata bisa tertanam.
Dengan begitu, pendidikan keagamaan akan bisa membantu aspek integritas, kejujuran, dan perilaku bersih dalam bersosial, berekonomi, dan berpolitik. Selama ini, hampir semua penelitian menunjukkan bahwa faktor keagamaan kita lebih banyak menyumbang benturan identitas, sehingga sentimen keagamaan mengarah pada pemahaman sempit dan tindakan intoleransi, diskriminatif dan eksklusif. Tentu itu bertentangan dengan prinsip pada RUU kita ini.
Pendidikan keagamaan selanjutnya perlu memperhatikan aspek historis dan sosiologis dari masing-masing tradisi agama, bukan doktrinisasi. Sejarah dunia, dan di dalamnya adalah timbul dan dinamika masing-masing agama, masih sangat minim disinggung di dalam kurikulum pendidikan nasional.
Agama sering identik dengan penghafalan dogma, bukan pembelajaran dinamik agama dalam sejarah manusia. Agama adalah fenomena manusiawi yang secara kronologis bisa dilihat kapan muncul dan tenggelamnya, baik dalam jangka waktu tahun, abad, milenia, atau episode-episode lainnya. Kritik ini masih menjadi semacam tabu untuk dipelajari pada pendidikan kita. Kesempatan ini perlu kita tangkap dalam RUU.
Hal lain yang urgen dalam pendidikan keagamaan adalah pengetahuan antar agama, antar tradisi, dan antar mazhab. Para siswa kita dari pendidikan dasar sampai tinggi hanya mengenal satu agamanya saja, mazhab, kelompok, dan jamaahnya.
Pengetahuan tentang agama lain kelihatan sedikit sekali. Padahal Indonesia adalah negara yang multi-iman, disamping multi etnis, budaya, dan tradisi.
Kita berharap gagasan dalam RUU ini bisa mempersiapkan pendidikan nasional yang lebih maju lagi. Masukan dan saran dari para praktisi pendidikan akan membantu kita menjadi lebih terbuka: nondiskriminatif dan inklusif.
BERITA TERKAIT: