Membaca Perang Rusia–Ukraina, Dua Jalan Keluar

OLEH: RAFLI ZULFIKAR*

Selasa, 29 Maret 2022, 01:59 WIB
Membaca Perang Rusia–Ukraina, Dua Jalan Keluar
Tentara Ukraina di perbatasan negaranya/Net
INVASI Rusia ke Ukraina merupakan isu global yang paling menyita perhatian setalah ancaman pandemi Covid-19. Meski di abad modern, invasi suatu negara bukan hal baru, tapi Invasi Rusia ke Ukraina menyita perhatian setidaknya atas dua hal.

Pertama, di tengah kekuatan global yang terkonsetrasi (unipolar) kepada Sekutu, perang biasanya diawali ketika status quo unipolaritas tatanan kekuatan global mulai terancam. Contohnya invasi AS ke Iraq.

Kedua, Invasi Rusia ke Ukraina menjadi semacam wake call up bagi Sekutu bahwa Rusia tengah berupaya menghidupkan kembali kejayaan Soviet. Maka logis kalau invasi Rusia ke Ukraina dianggap sebagai ancaman meletusnya perang dunia ke III.

Sejauh ini memang sangat dini untuk menilai apakah invasi Rusia ke Ukraina akan berdampak pada perang dunia ke III mengingat sekutu melalui NATO masih setengah hati untuk mengambil langkah mendukung Ukraina. Yang menarik dari invasi Rusia ke Ukraina adalah langkah Rusia, Ukraina dan Uni Eropa dalam memenangkan permainan.

Untuk membacanya memerlukan perangkat pendekatan teori permainan (Game Theory) karena dalam teori permainan selain faktor taktis secara matematis atas langkah apa yang diambil oleh aktor lain, teori permainan juga memberikan perangkat kebijakan apa saja yang dapat menjadi “pemukul” bagi negara rival.

Pada konteks invasi Rusia ke Ukraina, langkah Putin dapat dibaca sebagai upaya Rusia untuk mengakumulasi kepentingan nasional baik dari kepentingan untuk memperluas pengaruh atau menghidupkan kembali kejayaan Uni Soviet, juga kepentingan ekonomi energi dimana Ukraina merupakan choke point penting politik energi Rusia.

Apabila merujuk pada teori permainan maka pilihan aksi balasan yang dilakukan Ukraina untuk menarik NATO dalam arena permainan sangat dimengerti karena dengan demikian kekuatan akan seimbang. Seperti dalam diktum ilmu hubungan internasional, kedamaian akan tercipta apabila situasi kekuatanya seimbang (balance of power)

Eric Rasmusen dalam Games and Information: An Introduction to Game Theory (2006) menjelaskan secara garis besar bahwa dalam teori permainan kebijakan atau keputusan aktor dalam permainan akan ditentukan oleh aksi apa yang akan diambil oleh aktor lainya.

Maka apabila dalam konstelasi global, respons sebuah negara akan menjadi stepping poin respon negara lain. Permasalahannya adalah dalam arena internasional terutama perang, arena permainan tidak terhingga baik dari aturan main ataupun waktu. Situasi yang demikian dalam teori permainan disebut sebagai infinite game.  

Seperti dalam perumpamaan dilemma tahanan (Prisoner's Dilemma) dalam teori permainan, sejauh ini pilihan yang diambil baik oleh Rusia maupun Ukraina adalah saling menghianati (defection) bukan saling bekerja sama (Cooperating). Pilihan untuk saling mengkhianati sejauh ini memang pilihan paling rasional. Dari situasi yang ada, dimana pilihan Rusia untuk defection adalah untuk menarik kembali Ukraina dalam pengaruh Rusia seperti era Presiden Viktor Yanukovych.

Sederhanannya, dilema tahanan merupakan kalkulasi dua tahanan yang memiliki opsi apabila kedua saling mengaku maka akan mendapatkan masa tahanan 10 tahun, memilih untuk saling diam mendapatkan masa tahanan 1 tahun serta apabila aktor A mengaku dapat bebas dan Aktor B diam akan mendapatkan masa tahanan 20 tahun.

Dari simulasi dilema tahanan, opsi paling edeal adalah saling diam. Akan tetapi permasalahannya karena setiap aktor tidak memiliki informasi yang cukup atas opsi apa yang akan diambil oleh tahanan lainya maka yang kemungkinan yang akan terjadi adalah saling mengaku atau opsi ketika pilihan setiap aktor berbeda.

Situasi dilema tahanan juga terjadi atas apa yang menjadi keputusan Rusia dimana serangan Rusia terhadap Ukraina merupakan respon dari penetrasi NATO atau Sekutu yang sangat agresif dalam memperluas pengaruhnya di halaman belakang (backyard) geopolitik Rusia.

Ukraina bagi Rusia merupakan Choke point yang strategis tidak hanya sebagai jalur ekonomi Rusia tetapi juga bagi politik keamanan Rusia karena tepat berada di belakang rumah Rusia sehingga ketika Ukraina mulai berbalik arah era Presiden Volodymyr Zelensky untuk bergabung dengan Uni Eropa dan Nato, Rusia harus mengambil kebijakan defection dengan serangan Krimea.

Ketika situasi demikian maka yang harus dilakukan menurut teori peramainan adalah aksi saling berbalas atau tit for tat sampai tercipta situasi yang seimbang. Maka ketika dalam rentetan perang Rusia dan Ukraina, aksi tit for tat dilakukan baik oleh Rusia maupun oleh Ukraian dan Sekutu. Meski Sekutu cenderung gamang dalam merespon kebijakan Rusia melalui perang terbuka akan tetapi dengan diterimannya Ukraina kedalam NATO maka sebenarnya NATO menjadi aktor yang dihitung dalam permainan atau perang.

Rentetan tit for tat misalnya setelah Rusia tetap melakukan serangan terhadap Ukraina di balas dengan sekutu memberlakukan sanksi ekonomi. Serangan paling besar sejauh ini adalah pemutusan hubungan Rusia dengan sistem integrasi keuangan dunia atau Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Rusia merespons balik dengan serangan yang mulai masuk Kiev dan mengancam akan memberlakukan nasionalisasi ekonomi.

Rusia masih memiliki “kartu truf” yang mematikan selain ancaman perang nuklir yaitu suplai gas ke Uni Eropa dimana sepertiga kebutuhan gas UE masih di suplai oleh Rusia. Apabila Rusia memberhentikan suplai gas ke UE maka akan menjadi pukulan “Upper Cut” bagi ekonomi UE. Situasi yang demikian yang sebenarnya membuat gamang UE untuk masuk sejak awal dalam perang Rusia – Ukraina

Perang yang hanya memberikan pilihan keuntungan zero sum game membuat Rusia lebih diuntungkan atas keputusan perang karena memenangkan perang akan mengembalikan Ukraina dalam orbit pengaruh Rusia serta mengamankan kembali halaman belakang geopolitik Rusia.

Akan tetapi sejauh ini, Sekutu akan terus meberikan respon sebaliknya seperti sangsi oleh negara-negara aliansi sekutu seperti sanksi Singapura terhadap Rusia atau boikot perusahaan–perusahaan Amerika dan UE terhadap Rusia. Artinya perang tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Lalu pertanyaan sampai kapan situasi seimbang akan terjadi yang akan mengakhiri perang?

Robert J Aumman dalam proposalnya yang berjudul War and Peace pada Prize Lecture (2005) mengutarakan apabila merujuk pada sejarah perang dingin situasi damai akan terjadi ketika opsi perang nuklir sudah mengemuka karena setiap kemungkinan serangan nuklir akan dibalas dengan cara yang sama atau Mutual Assured Destruction yang akan menciptakan equilibrium of horor.

Tentu opsi equilibrium of horor adalah situasi yang tidak ideal. Jalan keluar lainya sebenarnya tersedia dan Indonesia dengan sejarah pengalaman untuk mendorong berakhirnya perang melalui Non Blok serta politik luar negeri bebas aktif memiliki momentum untuk mendorong perdamaian antara Rusia dan Ukraina.

Opsi pertama adalah Repetition Enables Cooperation. Pengulangan perang antara Ukraina dan Rusia dalam perang sejak kejatuhan Viktor Yanukovych serta pengulangan aksi balasan tit for tat sebenarnya mengaktifkan kembali kesempatan untuk memulai kerjasama.

Dalam situasi yang demikian Indonesia dengan politik bebas aktif dapat memulai enforce to cooperate baik melalui upaya mendorong dialog antara Rusia dengan Ukraina. Indonesia memiliki hubungan baik dengan keduanya diantaranya Ukraina dan Rusia merupakan negara pemasok gandum ke Indonesia.

Opsi kedua yang dapat di lakukan adalah Incentives for Peace dapat berupa pemberlakuan Carrot and Stick bagi aktor yang terlibat perang dalam hal ini Rusia dan Ukraina (termasuk sekutu). Tapi model Incentives for Peace sangat efektif apabila struktur kekuatannya seimbang atau bahkan diatasnya.

Peramasalahannya Indonesia merupakan negara middle power sedangkan aktor yang terlibat perang adalah negara super power. Maka jalan keluar yang dapat dilakukan adalah mengkonsolidasikan kekuatan global seperti mengkaktifkan kembali Non Blok atau ASEAN. Indonesia harusnya mampu membawa ASEAN lebih aktif dan luwes dalam mendayung diantara dua karang.

Berat memang tapi momentumnya sudah ada dimana kita hari ini menjadi presidensi G-20 memiliki kekuatan untuk mendorong G-20 sebagai kekuatan global governance yang dapat menekan tatanan tata kelola global yang lebih damai. Selebihnya seperti kata Barrack Obama dalam pidato penerimaan Nobel Perdamaian tahun 2009 yang mengatakan “The belief that peace is desirable is rarely enough to achieve it”.rmol news logo article


*Penulis adalah Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Universitas Padjajaran

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA