Tidak sedikit yang bergantung pada genset swadaya berbahan bakar solar mahal, bising, dan tidak selalu tersedia. Dalam kondisi seperti ini, listrik bukan sekadar soal terang di malam hari, melainkan menyangkut produktivitas ekonomi, kualitas pendidikan, layanan kesehatan, dan pada akhirnya, masa depan desa itu sendiri.
Ketika listrik terbatas, aktivitas ekonomi ikut terhambat. Usaha kecil sulit berkembang, hasil pertanian tidak dapat diolah secara optimal, dan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan berjalan apa adanya. Karena itu, elektrifikasi desa sejatinya bukan hanya target teknis pembangunan, tetapi bagian dari upaya menghadirkan keadilan dan martabat bagi masyarakat desa.
Selama ini, penyediaan listrik desa umumnya dipahami sebagai proyek pembangunan atau program bantuan. Negara hadir membangun infrastruktur, menyerahkan aset, lalu berpindah ke lokasi lain. Pendekatan ini memiliki peran penting dalam membuka akses awal.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa model berbasis proyek sering menyisakan persoalan keberlanjutan. Ketika masa proyek berakhir, aset mulai menua, biaya perawatan tidak tersedia, dan tidak ada kelembagaan ekonomi yang cukup kuat untuk memastikan listrik tetap menyala dalam jangka panjang.
Di titik inilah pertanyaan mendasar perlu diajukan kembali: apakah listrik desa harus selamanya diposisikan sebagai bantuan, atau sudah saatnya dipandang sebagai usaha rakyat yang dikelola secara berkelanjutan?
Pemerintah saat ini mendorong pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai pilar penguatan ekonomi rakyat. Koperasi dirancang sebagai lembaga ekonomi yang berakar di desa, memiliki legitimasi sosial, serta dikelola berdasarkan prinsip kebersamaan dan kemandirian.
Dalam sejarah pembangunan Indonesia, koperasi kerap diposisikan sebagai sarana pemerataan dan pemberdayaan, meski dalam praktiknya belum selalu berjalan ideal.
Pada saat yang sama, Indonesia tengah memasuki fase transisi energi. Energi terbarukan termasuk energi surya dipromosikan sebagai jawaban atas tantangan ketergantungan pada energi fosil dan perubahan iklim. Untuk wilayah pedesaan dan terpencil, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) off-grid menjadi solusi yang rasional. Sumber energinya tersedia lokal, biaya operasional relatif rendah, dan tidak memerlukan jaringan transmisi yang mahal.
Sayangnya, dua agenda besar ini—penguatan koperasi desa dan pengembangan energi terbarukan—sering berjalan sendiri-sendiri. PLTS desa kerap hadir sebagai proyek teknis yang selesai dibangun, tetapi tidak ditopang oleh kelembagaan ekonomi yang kuat.
Di sisi lain, koperasi desa belum memperoleh ruang yang jelas untuk berperan dalam penyediaan layanan energi. Akibatnya, banyak inisiatif listrik desa berhenti sebagai proyek, bukan tumbuh sebagai sistem.
Padahal, di sinilah peluang strategis itu berada. Listrik desa dapat ditempatkan sebagai unit usaha strategis koperasi desa. Dalam skema ini, koperasi mengelola PLTS off-grid beserta jaringan distribusi mini-grid desa, kemudian menarik iuran pemakaian listrik yang terjangkau dari masyarakat. Listrik tetap diposisikan sebagai pelayanan dasar, tetapi dikelola secara profesional dan berorientasi keberlanjutan.
Pendekatan ini membawa perubahan cara pandang yang mendasar. Listrik desa tidak lagi semata-mata bergantung pada alokasi bantuan, tetapi menjadi sumber pendapatan rutin bagi koperasi. Pendapatan tersebut digunakan untuk membiayai operasional, pemeliharaan, dan penggantian aset seperti baterai dan inverter. Sebagian lainnya memperkuat permodalan koperasi dan meningkatkan Sisa Hasil Usaha (SHU), yang pada akhirnya kembali ke anggota dan masyarakat desa.
Penting untuk ditegaskan bahwa pengelolaan listrik oleh koperasi bukan untuk mengejar keuntungan berlebihan. Prinsip yang digunakan adalah pemulihan biaya dan margin keberlanjutan yang wajar. Dengan cara ini, tarif listrik tetap terjangkau, layanan terjaga, dan koperasi memiliki kapasitas untuk bertahan dalam jangka panjang. Listrik menjadi pelayanan publik yang dikelola dengan logika usaha bersama, bukan komoditas semata.
Secara ekonomi, listrik memiliki karakteristik yang unik. Ia adalah kebutuhan primer dengan permintaan yang relatif pasti dan berkelanjutan. Secara sosial, koperasi memiliki kedekatan dan kepercayaan masyarakat desa, yang sangat penting dalam pengelolaan layanan publik. Secara lingkungan, PLTS mendukung pengurangan emisi dan ketahanan energi lokal. Ketiga aspek ini bertemu dalam satu model yang saling menguatkan.
Tentu saja, gagasan ini tidak dapat berjalan tanpa dukungan kebijakan yang jelas. Hingga kini, masih terdapat kekosongan dan fragmentasi regulasi lintas sektor.
Pengakuan koperasi sebagai penyedia listrik skala desa belum tegas, perizinan masih rumit, dan kepastian tarif serta pengakuan pendapatan koperasi belum sepenuhnya jelas. Dalam kondisi seperti ini, koperasi sulit mengakses pembiayaan formal, sementara pemerintah daerah cenderung berhati-hati memberikan dukungan.
Peran negara menjadi krusial, bukan dalam bentuk pembiayaan langsung yang berkelanjutan, melainkan melalui penciptaan ekosistem kebijakan. Regulasi yang sinkron, penyederhanaan perizinan, skema penjaminan terbatas, dan dukungan fiskal yang terukur dapat menurunkan risiko tanpa menciptakan ketergantungan baru.
Negara tidak menggantikan peran masyarakat dan koperasi, tetapi membuka ruang agar inisiatif lokal dapat tumbuh secara sehat.
Mengelola listrik desa melalui koperasi berbasis energi surya pada akhirnya bukan sekadar persoalan teknologi atau pembiayaan. Ia adalah perubahan paradigma pembangunan. Dari pendekatan proyek menuju sistem yang berkelanjutan. Dari bantuan menuju usaha bersama. Dari ketergantungan menuju kemandirian.
Ketika desa diberi ruang untuk mengelola energinya sendiri secara bertanggung jawab, yang tumbuh bukan hanya terang di rumah-rumah warga, tetapi juga kepercayaan diri, aktivitas ekonomi, dan rasa memiliki terhadap pembangunan itu sendiri. Listrik menjadi pintu masuk bagi transformasi desa yang lebih luas.
Menerangi desa dan menguatkan koperasi sejatinya adalah dua agenda yang saling melengkapi. Listrik desa bukan sekadar angka elektrifikasi dalam laporan statistik, melainkan fondasi bagi masa depan pembangunan desa yang lebih adil, mandiri, dan berkelanjutan.
Andi Akmal AmnurPemerhati Kebijakan Publik dan Pembangunan Daerah
BERITA TERKAIT: