Saat ini bangsa sedang "berperang" melawan persebaran wabah virus corona (Covid-19). Negara wajib hadir sebagai pengendali komando utama, pada saat yang sama Presiden terniscayakan sebagai panglima "perang" itu.
Negara memang akhirnya hadir melalui tiga keputusan penting Presiden 31 Maret 2020. Meskipun itu dilakukan relatif tiga bulan kemudian setelah Covid-19 berkecamuk sejak Desember 2019 di Wuhan, propinsi Hubei, Tiongkok. Dan hampir satu bulan setelah pemerintah menyatakan secara resmi pada 2 Maret ada dua orang di Indonesia positif terjangkit.
Tiga keputusan itu, Perppu No. 1/2020, Keputusan Presiden (Keppres) No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), dan Peraturan Presiden (PP) No. 21/2020 tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Perppu 1/2020 melahirkan dua sudut pandang yang berbeda. Menimbulkan pro dan kontra. Kubu yang pro melihatnya sebagai dasar pijakan kokoh Presiden selaku panglima "perang" membuat berbagai kebijakan khusus untuk menyelamatkan kepanikan rakyat akibat serangan wabah Covid-19. Sebuah kewenangan yang bersifat khusus untuk menjalankan semua taktik dan strategi "perang".
Bagi kubu yang kontra, menilai pemerintah menegakkan hukum dengan melanggar hukum: Penggenggaman tunggal kekuasaan di satu tangan (eksekutif) dinilai adalah tindakan penafian dan pelucutan peran legislator selaku mitra pembentuk undang-undang.
Kesulitan likuiditas negara menghambat optimalisasi mitigasi. Negara tidak memiliki dana segar yang banyak dan siap pakai. Melalui Perppu pemerintah punya otoritas besar melakukan restrukturisai design perekonomian. Terbuka pintu untuk membawa Perppu merambah aset konglomerat yang sangat besar.
Publik pasti masih ingat ketika pada tahun 2016 di Balikpapan, Jokowi mengatakan, ada kurang lebih 11.000 triliun rupiah uang milik masyarakat dan perusahaan Indonesia yang disimpan di luar negeri.
"Kalau ada yang ngomong enggak percaya, saya buka datanya sekarang. Kalau diperbolehkan, tapi karena tidak diperbolehkan. Yang tahu saya, Menkeu, Dirjen Pajak, itu aturan mainnya," kata Jokowi pada acara sosialisasi tax amnesty di Balikpapan, Senin pada 5 Desember 2016, yang banyak dikutip di media mainstream.
Persoalannya, Perppu itu kini sedang digugat lewat uji materi di MK (Mahkamah Konstitusi). Diinisiasi tiga tokoh bangsa, Din Syamsuddin, Sri Edi Swasono Amien Rais. Sasaran gugatan adalah Pasal 27 yang memberi status imunitas pejabat publik pengelola dana penanggulangan berbagai kluster sebesar 405.1 triliun rupiah. Imunitas itu dinilai mudah membuka pintu masuk terjadinya praktik korupsi.
Proses awal pembahasan Perppu dianggap kurang melibatkan representasi aneka aspirasi stake holder. Minimnya sosialisasi oleh para menteri selaku pembantu presiden sesudahnya, tidak banyak menolong. Masyarakat salah paham. Presiden dicaci maki. Pemerintah dituduh punya hidden agenda; menunggangi keperkasaan Perppu untuk menutupi berbagai ketimpangan kebijakan ekonomi sebelum ada Covid-19.
Saat ini, proses uji materi berdinamika tinggi tengah berjalan. Pada saat yang sama derajat penderitaan rakyat juga semakin tinggi. Tiap hari bertambah ratusan ribu orang miskin baru. Melengkapi angka puluhan juta sebelum wabah. Berkejaran dengan belasan juta pencari nafkah informal yang kehilangan pekerjaan. Sementara itu belasan juta karyawan tumbang terpapar PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Ratusan perusahaan gulung tikar kehabisan nafas.
Keperkasaan yang dimiliki Perppu punya potensi besar mendorong kesepakatan lahirnya mitigasi nasional yang sifatnya spektakuler. Tujuannya untuk penyelamatan bangsa dari kejatuhan yang lebih dalam. Kesulitan likuiditas negara ibaratnya adalah wabah dalam bentuk lain. Mitigasi spektakuler memutlakkan negara segera melakukan serangan kilat (blitzkrieg) untuk memotong perluasan wabah Covid-19 dan menahan keruntuhan ekonomi. Dana segar siap pakai itulah yang mendesak saat ini.
Perppu sangat tepat membantu pemerintah mendekati konglomerat pemilik dana besar itu untuk memberikan "hibah" sepuluh persen dari dana mereka. Ini momen menguji derajat kadar patriotisme sang konglomerat.
Publik membayangkan seandainya legislator di Senayan mau menggunakan ketukan palunya memperluas jangkauan wilayah kekuasaan Perppu 1/2020. Memberi kewenangan mengembalikan dana yang diparkir di luar negeri.
Konon dana yang diperlukan kurang lebih 1.000 triliun rupiah. Itu kebutuhan untuk mendukung mitigasi nasional (termasuk bantuan sosial, untuk stimulus dan untuk anggaran biaya pembuatan sarana kesehatan bersama kelengkapannya).
Tidak perlu lagi cetak uang; tidak perlu lagi ada quantytativ easing atau pelonggaran moneter, kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral guna meningkatkan jumlah uang beredar. Dan tidak perlu obral stimulus dalam jumlah besar kepada perusahaan konglomerat.
Seandainya, ketika proses politik itu berjalan di Senayan, tidak menjadi masalah jika proses uji materi (hukum) juga yang berlangsung di MK jalan terus. Publik akan menyaksikan dua kubu anak bangsa memainkan peran partispasinya masing-masing.
Yang satu ada di Senayan dan yang satunya ada di luar Senayan. Yang satu ada dalam struktur. Yang satunya ada diluar struktur. Keduanya menempuh jalan demokrasi yang berbeda, tapi menuju satu arah yang sama: Indonesia yang lebih baik.
Mungkinkah?
Penulis adalah wartawan senior, pemerhati sosial budaya.
BERITA TERKAIT: