Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Business Cycle, Resesi, Covid-19, Dan Nilai Tukar Rupiah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/kwik-kian-gie-5'>KWIK KIAN GIE</a>
OLEH: KWIK KIAN GIE
  • Rabu, 15 April 2020, 10:25 WIB
Business Cycle, Resesi, Covid-19, Dan Nilai Tukar Rupiah
Kwik Kian Gie//Net
TERIMA kasih atas respons anda sekalian.

Business Cycle

Pertama saya ingin menjelaskan sedikit tentang inti dari "hukum alam" yang dinamakan gelombang pasang surutnya ekonomi atau business cycle.

Ambil sebagai contoh produsen obat dengan merk tertentu. Dia tidak mengetahui persis berapa obat sejenis yang merupakan saingannya dan yang diproduksi oleh para pesaingnya. Ketika omset dari pabriknya meningkat, dia gembira, dan biasanya kebablasan memperluas produksinya tanpa berpikir panjang.

Karena para pesaingnya berpikiran sama, keseluruhan produksi obat yang bersangkutan dengan berbagai merk dan oleh berbagai pengusaha menjadi demikan besarnya, sampai melampaui kebutuhan keseluruhan rakyat akan obat tersebut.

Banyak dari pabrik obat itu yang tidak bisa menjual seluruh obatnya, stok barang jadi menumpuk, mereka merugi, menciutkan produksinya dengan mem-PHK, melakukan pengiritan konsumsinya sendiri dan sejenisnya.

Apa dampaknya? Daya beli yang dipompakan oleh semua pabrik obat itu menyusut. Karena daya beli seluruh masyarakat menurun, omset barang-barang para produsen juga menyusut lagi, daya beli menurun lagi yang pada gilirannya membuat produksi menysusut lagi dan seterusnya. Terjadi spiral ke bawah.

Saya mengambil contoh pabrik obat atau hanya satu sektor saja untuk mempermudah pemahamannya. Dalam ekonomi makro, produksi dan konsumsi tidak hanya menyangkut satu sektor saja, tetapi praktis semua sektor kehidupan ekonomi dengan satuan-satuan untuk seluruh bangsa, atau yang disebut aggregative.

Pada saat para produsen mengurangi produksinya, di situlah terjadi titik yang tertinggi dari gelombang ekonomi. Titik ini disebut "krisis", dan proses menyusutnya disebut "resesi".

Segala sesuatu ada batasnya. Kebutuhan masyarakat akan obat yang bersangkutan (misalnya paracetamol) tidak bisa sampai nol. Ketika produksi menyusut terus sampai di bawah kebutuhan minimum, masyarakat mulai membeli lagi. Lambat laun permintaan melampaui penawaran, dan para konsumen berebut barang.

Para produsen mengalami rebutannya para konsumen, mereka mulai memperbesar produksinya lagi. Ini berarti mereka memompa daya beli lagi kepada masyarakat, yang membelanjakan berbagai barang kebutuhannya, antaranya obat yang bersangkutan. Terjadilan spiral meningkatnya perekonomian yang juga dinamakan boom, atau hausse.

Kita sudah lama memasuki resesi, tetapi terasanya baru menjelang meledaknya Covid-19, dan oleh Covid-19 penurunan ekonomi diperparah dengan sangat hebat yang saya bahas berikutnya.

Covid-19


Malapetaka atau musibah ini memang teramat dahsyat. Buat saya ketakutan dan reaksi yang berlebihan juga tidak kalah hebatnya.

Tsunami Aceh membunuh 180.000 jiwa dalam satu hari. Penyelenggaraan Pemilu Presiden yang baru lalu memusnahkan jiwa para saksi dan penyelenggara lainnya sebanyak 700 jiwa dalam waktu beberapa hari saja.

Reaksi pemerintah dan masyarakat pada umumnya tidak sehebat sekarang karena musibahnya sekali saja dan terjadi mendadak pada satu saat. Kecuali itu tidak terjadi penularan. Maka tidak ada yang resah dalam waktu yang berkepanjangan dengan segala akibatnya.

Pada umumnya manusia hanya memikirkan diri sendiri. Karena dirinya tidak terkena dalam tsunami Aceh dan dalam kematian karena kelelahan dalam penyelenggaraan negara, reaksinya terbatas pada pernyataan berduka cita dan simpati, dan yang itupun juga mungkin hanya lip service.

Demikian juga setiap kali terjadi musibah kecelakaan pesawat udara dengan seluruh isinya meninggal, reaksinya yalah sambil mengurut dada dan berpikir secara refleks "untung bukan saya".

Dalam hal Covid-19, masalahnya berjangka panjang yang disertai dengan ketidakpastian akan berlangsung berapa lama. Yang terpenting juga belum ada obat penangkal maupun penyembuhannya, serta penularan yang sangat cepat.

Yang dilakukan secara umum ialah yang di Indonesia disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan maksud mencegah penularan. Dampaknya menjangkau seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pengangguran dan pemiskinan yang terjadi sudah lebih dari cukup diberitakan dan dibahas di hampir semua media massa.

Yang terjadi ialah mengamankan jiwa manusia terlebih dahulu, tanpa peduli pada dampaknya di bidang-bidang lain setelah jiwa manusia diamankan semaksimal mungkin. Sangat bisa dimengerti.

Jungkir Balik


Namun kebijakan yang ad hoc, mendadak, dalam suasana kebingungan dan ketakutan membuat banyak hal berjungkir balik. Banyak sekali narapidana dibebaskan yang berarti memperoleh kebebasannya kembali, walaupun harus juga tunduk pada PSBB.

Sebaliknya, rakyat banyak yang tidak bersalah juga harus taat pada PSBB yang berarti harus kehilangan kebebasannya. Narapidana bernasib sama dengan rakyat yang tidak melakukan kesalahan apa-apa, yaitu berkumpul dengan sesama keluarganya masing-masing.

Dalam bidang ekonomi, golongan pebisnis berskala sangat mikro dan mikro seperti manusia gerobak, penghuni di tempat-tempat penumpukan sampah, penjaja makanan kaki lima, penarik Gojek, dan semua orang lainnya yang hidup dari hari ke hari mendadak kehilangan pendapatannya.

Namun sebaliknya perusahaan raksasa dalam sektor-sektor tertentu harus melembur agar bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka antara lain adalah produsen obat, vitamin, kaos tangan, masker dan sejenisnya.

Tidak semua pengusaha besar dan sudah kaya raya bernasib mujur, memperoleh kesempatan luar biasa dalam kesempitan yang luar biasa juga. Hotel-hotel tidak memperoleh tamu dan bahkan harus ditutup. Pemilik mall dan toko-toko yang ada di dalamnya juga harus tutup.

Mereka ini bekerja dengan kredit bank dalam jumlah yang biasanya melampaui prudent. Akibatnya akan terjadi kredit macet secara besar-besaran.

Ditambah dengan utang dalam mata uang asing oleh pemerintah maupun swasta, kita harus betul-betul waspada kembalinya krisis multidimensi seperti di tahun 1998, atau bahkan lebih dahsyat lagi.

Dengan sendirinya pendapatan kena pajak mereka menurun drastis, yang pada gilirannya pendapatan pajak menurun drastis juga dalam kondisi di mana pemerintah justru membutuhkan banyak uang untuk mengatasi musibah Covid-19 dan untuk mempertahankan banyak sekali rakyat jangan sampai mati kelaparan. Mencegah kematian dari Covid-19 mengakibatkan kematian dan kekurangan gizi pada masyarakat yang jauh lebih luas.

Kondisi yang jungkir balik seperti ini belum pernah kita alami sebelumnya. Resesi ekonomi dan depresi yang cukup dahsyat pernah kita alami. Namun penjukirbalikan seperti yang digambarkan di atas belum pernah.

Kita harus segera mulai berpikir ke depan, bagaimana mengembalikan segala sesuatunya pada proporsi yang normal, paling tidak lebih mendekati normal.

Di banyak negara maju dan sangat maju, sejak kemarin sudah mulai banyak pembahasan di berbagai TV mereka tentang apa yag dinamakan the aftermath sebagai akibat dari resesi yang diperparah oleh masalah Covid-19.

Sekarang kita semua harus mulai memperkirakan seberapa besar kerusakan yang akan terjadi dalam bidang ekonomi, sosial dan kejiwaan.

Bagaimana langkah-langkah selanjutnya dengan perhitungan kuantitatif. Dalam kaitan ini kita juga sangat perlu mempertimbangkan masak-masak apakah semua kebijakan dan tindakan yang telah diberlakukan tidak kebablasan dan tidak lebih merusak ketimbang menyelesaikan masalah resesi, depresi ekonomi yang akan semakin hebat, serta kondisi psikologi manusia yang harus melakukan PSBB terlalu lama, yang bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial.

Pemerintah dari negara-negara maju yang bebas korupsi mempunyai cukup banyak uang di tangannya. Inilah yang dipakai untuk menyantuni agar kebutuhan mereka yang vital terpenuhi tanpa utang.

Mereka juga sepakat bahwa PSBB tidak perlu terlampau kebablasan, karena para ahli medisnya meyakini bahwa jarak 1,5 meter ke atas antara manusia yang satu dengan lainnya cukup aman. Parlemen mereka tetap bersidang dengan kursi-kursi diberi jarak 1,5 meter. Tetap mengamankan nyawa manusia sambil meneliti lebih dalam dan melonggarkan PSBB yang pasti aman mulai dipikirkan terus.

Tim Pasca Covid-19

Penyelenggara negara perlu membentuk tim yang sejak sekarang sudah mulai membuat prakiraan dalam bentuk inventarisasi dari semua permasalahan yang akan kita hadapi setelah Covid-19 berlalu.

Kalau tidak mampu, dengarkanlah para ahli walaupun mereka bukan anggota atau kader partai politik. rmol news logo article

Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri.

**) Tulisan sudah dipublikasi di akun Facebook penulis

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA