Sekarang, ada bahaya baru.
Pygmies and madmen have become the rulers of great nations. Ditopang klub-klub liberal
hooligans. Mereka kibarkan
bloodstained flag of fascism.
Fascist politics menguat di Amerika, Eropa, Latin Amerika, Asia, termasuk Indonesia.
Mereka adopsi
"tolstoyan attitude" yaitu
"remain at home and close the windows". Tutup mata. Pura-pura tidak tahu. Tutup telinga. Tabrak konstitusi.
Antek-antek Poros III di dalam kubu 01 berbisik di telinga Presiden Joko Widodo. Mereka berkata, "mari bubarkan FPI".
Habiburokhman dari Partai Gerindra menilai FPI ada di garis Pancasila dan Konstitusi.
Suara masa lalu dari fasisme sayup-sayup terdengar. Prinsip, tata nilai dan
fascist attitudes re-emerging dalam
rhetorika populist.
Kaum fasis bersandar pada bentuk nasionalisme ekstrim,
the cult of the leader, systemic racism, anti Arab
sentiment, a culture of fear, hatred of the other dan a disdain for the truth.
Fascist politics memperdagangkan
rhetoric of fear dan
violence. FPI didemonisasi. Ditarget sebagai
criminals group dalam rangka
expansi culture of terror dan memperdalam
insecurity.
Rencana pembubaran FPI adalah balas dendam Poros III. Tanggal 22 Mei 2019, polisi merilis
statement FPI membantu meredam kerusuhan. Polisi dan FPI bergandeng tangan mengamankan situasi Jakarta. Tidak heran sekarang FPI mau dibubarkan.
Penulis merupakan aktivis Komunitas Tionghoa Antikorupsi (KomTak).
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: