Miripisme, Filsafat Dan Simpanse

Selasa, 26 Februari 2019, 06:46 WIB
BEGAWAN Jaya Suprana menulis kolom berjudul "Miripisme Russel, Nietszche, Galileo, Gerung" di RMOL.Co pada 21 Februari 2019.

Beliau memberikan perhatian pada kolom saya di DetikCom pada 15 Februari 2019 yang menempatkan fenomena 'pengeroyokan' sebagai pengantar untuk menangkap pola argumentasi Rocky Gerung.

Sebagai gantinya, saya berkewajiban untuk mengapresiasi argumen Jaya Suprana mengenai 'miripisme.'

Menurutnya, miripisme merupakan koherensi antara nasib Rocky Gerung dengan filosof dunia seperti Bertrand Russell, Friedrich Nietzsche hingga Galileo Galilei.

Miripisme itu boleh jadi skandal dalam dunia filsafat sepanjang sejarah. Sementara pembelajar filsafat abai terhadap hal itu.

Dengan kerendahan hati seorang begawan, Jaya Suprana menutup tulisannya dengan pengakuan sebagai 'orang luar' komunitas filsafat yang berikhtiar memahami filsafat.

Kerendahan hati merupakan barang langka di antara pegiat filsafat di Indonesia hari ini. Sebagian pembelajar filsafat justru gagal untuk mencintai kebijaksanaan.

Padahal, seorang doktor filsafat yang kebetulan tunanetra pernah mengejek saya, "memangnya ada ya sekolah filsafat di Indonesia?!" Ejekan itu ia sampaikan ketika kami sedang menunggu petugas untuk membuka pintu sebuah teater di University of Melbourne.

Saya pun sadar bahwa pegiat filsafat di Indonesia relatif cupet karena tidak berdebat di panggung dunia tapi justru sibuk menerjemahkan gagasan asing, jika tidak sibuk menjegal pribadi yang menebar pesona retorika di panggung nasional.

Barangkali cupet itu yang menjadi akar permasalahan 'pengeroyokan' dalam bentuk dua pernyataan sikap dan seruan yang ditandatangani oleh lebih dari seratus pegiat filsafat lintas komunitas.

Dalam majalah Foreign Affairs edisi Maret dan April 2019, Profesor Robert Sapolsky dari Stanford University menulis artikel berjudul "This Is Your Brain on Nationalism: The Biology of Us and Them" pada halaman 42-47.

Ia menjelaskan bahwa, di satu sisi, simpanse memiliki kecenderungan 30 kali lipat lebih besar untuk membunuh simpanse di luar kelompoknya daripada anggota sendiri. Secara rata-rata, delapan simpanse mengeroyok satu korbannya.

Di sisi lain, bonobos atau jenis simpanse yang tak suka berkelompok di hutan rawa Zaire; justru tidak pernah melakukan perilaku brutal.

Pantas saja bonobos terancam punah. Bukan tidak mungkin bonobos juga merupakan obyek keroyokan dari simpanse.

Pembaca boleh saja berimajinasi bahwa Rocky Gerung analog dengan bonobos meski ia lebih menyukai metafora berupa urang utan seperti yang terdapat pada akun Twitternya. Namun, saya sedih bila anda berpikir bahwa komunitas pegiat filsafat lebih buruk karena "rasio pengeroyokan" melampaui rerata komunitas simpanse.

Sejatinya, pegiat filsafat tidak akan pernah mufakat mengenai satu fenomena dan noumenon (baca: satu hal sebagai dirinya sendiri) yang sama.

Jika mereka bermufakat, boleh jadi mereka bukan pegiat filsafat sesungguhnya atau sedang berupaya mengalahkan rekor komunitas simpanse. [***]


Qusthan Firdaus
Peneliti di The Rhetoric Centre, Jakarta



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA