Mungkinkah Terbentuk Jaring Pengaman Keuangan Di Kawasan ASEAN?

Jumat, 08 Februari 2019, 13:52 WIB
Mungkinkah Terbentuk Jaring Pengaman Keuangan Di Kawasan ASEAN?
Asia Tenggara/Net
SINGAPURA dan Indonesia menandatangani perjanjian bilateral swap (BSA) sebesar US$ 10 miliar (BSA) pada Oktober tahun 2018.

Hal tersebut adanya sinyal kuat bahwa dua negara akan saling membantu satu sama lain jika terjadi eksternal shock terkait potensi larinya devisa negara secara mendadak.

Langkah kedua negara tersebut adalah tindakan yang positif yang menunjukan adanya kemauan oleh negara-negara di kawasan ASEAN untuk memainkan peran yang lebih besar dan lebih langsung dalam penguatan stabilitas keuangan.

Namun masih banyak tindakan strategik lain yang harus dilakukan. Langkah tersebut adalah step kecil yang harus diikuti dengan langkah-langkah lain.

Sinyal lain dari kerjasama BSA tersebut adalah meningkatnya level kegelisahan yang lebih besar di antara negara-negara ASEAN terkait pembaliknya devisa negara ke Amerika.

Kerjasama keuangan di ASEAN yang terpenting saat ini adalah Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) dengan total swap 240 miliar USD yang melibatkan kesepakatan diantara ASEAN + 3 negara (ASEAN ditambah Cina, Jepang dan Korea Selatan).

CMIM dilaksanakan di tahun 2010 ketika multilateralisme sedang bangkit dan arsitektur keuangan internasional baru mulai terbentuk.

Semangat multilaterism tersebut adalah semangat untuk berbagi tanggungjawab yang lebih besar dalam mengatasi potensi krisis di masa depan yang melibatkan institusi negara ASEAN dan lembaga-lembaga global.

Secara teori, CMIM menawarkan tool yang kuat dan kredibel untuk pencegahan dan penanganan krisis keuangan di ASEAN.

Kemewahan ini menyediakan ruang besar dibandingkan dengan era sebelum adanya swap ASEAN + Cina, Jepang dan Korea Selatan.

Kerjasama perjanjian Swap ASEAN lain yang sudah adalah adalah Swap sebesar US$ 2 milyar antara otoritas Bank Sentral di kawasan ASEAN.

Masalahnya muncul ketika mengkonsolidasikan berbagai perjanjian BSA di bawah CMIM.

Apakah pengambilan keputusan selama krisis oleh CMIM bisa lebih efisien mengingat 70 persen penarikan dana darurat harus mendapatkan persetujuan IMF sehingga efektivitas dan efisiensi CMIM dipertanyakan banyak anggota ASEAN khususnya yang terkait bantuan dana multilateral.

Singkatnya, terjadi keprihatinan yang meningkat antara para anggota ASEAN tentang efektivitas CMIM dan apakah hal tersebut sudah mewakili pembiayaan pengaturan yang tepat untuk kawasan ASEAN.

Masalah muncul saat ada kepentingan yang tidak dapat diselaraskan antara kepentingan CMIM dengan ASEAN.

Patut diingat bahwa Cina, Jepang dan Korea Selatan-ketiga negara tersebut memberikan 80 persen dari dana untuk CMIM, mereka adalah para pengambil keputusan kunci dan harus menyetujui bantuan untuk negara-negara ASEAN saat krisis.

Dan negara kawasan ASEAN + 3 hanya dapat menyetujui 30 persen dari dana yang dibutuhkan saat negara anggota dalam kondisi krisis. Sisanya 70 persen harus dikenakan proses persetujuan IMF.

Nampaknya, negara-negara anggota ASEAN menunjukan ketidaknyaman dengan struktur pengambilan keputusan CMIM tersebut.

Sumber kerentanan keuangan di Kawasan ASEAN sangat berbeda dengan sumber kerentanan Cina, Jepang dan Korea Selatan. Keuanhan negara Asean peka terhadap gejolak politik dan ekonomi dibandingkan negara China, Jepang dan korsel. Hal ini menyebabkan keputusan masing-masing negara ASEAN dibidang keuangan tidak sepenuhnya selaras dengan kebutuhan keuangan kawasan.

ASEAN membutuhkan adanya pengaturan keuangan kawasannya sendiri yang lebih kompotibel yang sepenuhnya di bawah kontrol ASEAN sendiri.

Banyak negara ASEAN (Indonesia, Thailand dan Vietnam) menemukan program IMF berat dan sulit diimplementasikan terutama dalam pembiayaan jangka pendek yang meningkatkan likuiditas (sebagai lawan dari pendanaan jangka panjang.

Indonesia masih memiliki stigma negatif yang terkait dengan bantuan IMF karena perannya selama krisis keuangan Asia menyebabkan krisis lebih dalam sehingga sulit secara politis untuk Indonesia dan banyak negara ASEAN lainnya untuk permintaan bantuan dari IMF.

Stigma ini merupakan risiko besar terutama saat negara ASEAN menghadapi eksternal shock mendadak akibat defisit neraca pembayaran yang mungkin tidak memiliki jalan untuk mendapatkan bantuan likuiditas besar mencegah krisis berikutnya.

Karena sebagian besar dana CMIM harus berhubungan dengan IMF. Maka CMIM secara efektif berkurang perannya dalam mengatasi krisis negata anggota ASEAN.

Perjalanan CMIM dari tahun 2010-2019 saat ini telah menjunjukan kekurangan dari sistem CMIM.

Meskipun tidak ada negara ASEAN yang mengalami krisis keuangan selama periode 2010-2019 ini, namun beberapa negara-negara ASEAN memerlukan bantuan keuangan darurat pada tahun 2013 yaitu saat pembalikan arus modal terjadi besar-besaran (mini krisis 2013). Saat itu negara-negara anggota ASEAN tidak memanfaatkan fasilitas CMIM ini, meskipun bantuan tersebut adalah solusi yang tersedia.

Sebaliknya, negara-negara ASEAN beralih ke fasilitas bilateral swap (BSA) dengan bank sentral dalam dan di luar Asia.

Sebagaimana BSA Indonesia-Singapura tahun 2018 lalu, negara anggota lebih nyaman beralih ke sesama negara-negara ASEAN untuk  mendapatkan fasilitas bantuan.

Fenomena ini sebenarnya sinyal yang menunjukan adanya fenomena lemahnya kredibilitas dan efektivitas CMIM sebagai mekanisme pembiayaan utama di wilayah ASEAN.

Rekomendasi


ASEAN harus membangun sendiri mekanisme dan pengaturan manajemen (protokol) krisis sebagai jaring pengaman keuangan tambahan. Hal ini dapat dilakukan dengan merekontruksi institusi ASEAN Swap Agrement (ASA) yang lebih kompatibel dengan kebutuhan negara-negara ASEAN khususnya yang terkait dengan kontrol yang lebih besar atas kecepatan dan proses pencairan dana bantuan likuiditas.

ASA baru dapat dirancang sebagai Fasilitas Likuiditas ASEAN ketika terjadi guncangan likuiditas valuta asing dan dapat dilihat sebagai pelengkap dari CMIM.

Saat terjadi gejolak likuiditas, ASA akan memberikan garis pertahanan kedua setelah cadangan negara masing-masing dan CMIM akan menjadi pertahanan ketiga.

ASA dapat memanggul tanggung jawab likuiditas awal dalam krisis sehingga sangat memudahkan untuk bantuan berikutnya dari dari CMIM.

Saat ini ASA hanya mengelola sebesar 2 miliar USD. Jumlah tersebut tidak memadai. Dana ASA setidaknya minimal 50 miliar USD.

Cadangan devisa negara-negara ASEAN sebelum krisis 1997/98 berjumlah 164 miliar USD dan saat ini  cadangan devisanya memiliki lebih dari US$ 900 miliar. Dana buffer ASA harusnya juga ditambah.

ASEAN telah membuat kemajuan besar dalam pertumbuhan dan perkembangan dan sekarang adalah salah satu daerah pertumbuhan tercepat dan paling dinamis di dunia. Namun, protokol krisis keuangan ASEAN yang belum efektif dan efisien menyebabkan pembangunan kemajuan ASEAN bisa jadi terhambat.

Upaya mendesain mekanisme pencegahan dan penanganan krisis dikawasan ASEAN yang kuat dan kredibel perlu segera dilakukan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi ASEAN yang berkelanjutan. [***]

Hidayat Matnoer MPP
Pengamat moneter Indonesia.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA