Saya menyukai definisi
leadership di atas, karena jelas membedakan leader sejati dengan
typical seorang manajer.
Pemimpin besar belum tentu orang yang melakukan hal-hal besar. Tetapi jelas dia memiliki kemampuan untuk menggerakkan orang banyak, menjadi inspirasi orang lain untuk melakukan hal-hal yang besar.
Kemampuan leader dalam pembangunan bukan dilihat dari
high-economic growth… itu hanya hasil akhir... tapi key word nya adalah leader tersebut mampu menggerakkan semua orang, semua sektor, semua elemen, untuk bersama-sama memobilisasi
all sources yang digunakan untuk menuju kepada visi bersama.
Itulah esensi
leadershipIndonesia adalah negara populasi tinggi. Untuk memiliki ekonomi yang kuat butuh growth 6 hingga 7 persen. Lihat Cina, India, angka itu yang ideal untuk menyerap atau menciptakan kerja.
Tetapi untuk mencapai 6 hingga 7 persen bukan semata bermodalkan faktor-faktor ekonomi. Tapi membutuhkan leadership yang inspiratif,
influencing, dan
trust.
Pertumbuhan ekonomi tidak bekerja dengan dirinya sendiri, tetapi hasil
reciprocal atau timbal balik dengan faktor-faktor
non-economic lain.
Misalnya perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan perubahan sosial, pola konsumsi masyarakat, cara berpikir, cara hidup, dan lain-lain. Sebaliknya perubahan sosial yang positif akan menciptakan pertumbuhan ekonomi, jadi keduanya merupakan pendukung sekaligus hasil.
Kedua,
good governance.
Governance bukan
government (pemerintah) tetapi tata kepemerintahan, yang terdiri dari
government, civil society dan korporasi. Semua berada dalam posisi seimbang. Beberapa Prinsip yang diutamakan dalam
good governance adalah transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan partisipasi.
Good governance juga memberi dukungan bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya ekonomi yang tmbuh baik bagi perkembangan
good governance karena nilai-nilai demokrasi makin berkualitas sejalan naiknya taraf hidup orang banyak. Demokrasi menuntut transparansi, akuntabilitas, partisipasi rakyat.
Pada perubahan sosial dan good governance, benang merahnya adalah leadership. Pemimpin yang dipercaya, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang banyak untuk bergerak pada kebaikan, memiliki kemampuan untuk memainkan role-play dalam ekonomi-politik, pasti akan didukung orang banyak.
Jadi sekarang kita bisa menjawab mengapa pertumbuhan ekonomi kita stagnan? Mengapa infrastruktur tidak didukung rakyat? Kuncinya adalah pada leadership Jokowi.
Growth 5 persen baik atau buruk? Jawabannya relatif. Tapi jika kita melihat potensi sumber daya kita lebih baik dari India, seharusnya kita juga tumbuh 7 persen. Tapi posisi rangking korupsi kita (index korupsi) lebih buruk dari India dan China. Kembali lagi ini soal leadership pada good governance. Tidak akan ada pertumbuhan tinggi jika korupsi masih tinggi. Ini indikator efisensi dan produktivitas dari utang-utang pemerintah.
Kok masih ada korupsi? Kan ada revolusi mental?Apakah rakyat paham revolusi mental apa? Apa hasilnya selama 3 tahun? Bagaimana para pendukung Jokowi menjalankan revolusi mental dalan kehidupan sehari-hari? Mengapa mereka tidak menjadi inspirasi bagi rakyat banyak?
Ini soal
trust. Pemimpin menjadi inspirator bagi hidup orang lain jika sudah mendapatkan
trust dari orang yang dipimpinnya.
PM India Narendra Modi bukan tipe pemimpin yang gemar pencitraan, main kodok, tinju, pancho, choper, apalagi bagi-bagi hadiah sambil lempar-lempar dari mobil, lalu rakyatnya berlari-lari mengejar seperti pengemis di jalan raya Pantura mengejar uang recehan yang dilempar para pengendara.
Tapi dia membangun infrastruktur yang mempekerjakan warga lokal, membangun fundamental ekonomi yang berbasis ekonomi rakyat tetapi di sisi lain mengembangkan industri teknologi murah. Hasilnya? India tumbuh 7 hingga 7,5 persen selama 4 tahun terakhir dan pendapatan perkapita jauh di atas Indonesia.
Kita masih jauh mengejar India, apalagi China. Bahkan IPM index pembangunan manusia indonesia, rata-rata pertumbuhannya masih di bawah Vietnam.
Pemimpin yang disebut Ronald Reagen tadi adalah pemimpin transformasional, pemimpin yang berbagi visi (bukan visi kemauannya sendiri), menjual nilai-nilai dan memberi ruang partisipasi orang banyak. Perspektifnya mengutamakan kualitas.
Berbeda dengan pemimpin transaksional yang membangun relasi-relasi dengan pengikutnya berbasis material/ekonomi, dan kuantitas. Bagi-bagi sepeda, hadiah, kartu, setifikat adalah perilaku transaksional. Itu semua bukan perilaku yang inspiratif dan mengajarkan nilai-nilai, bukan solusi yang substansial dan fundamental.
Dalam realitas, banyak orang yang mengaku menjadi pemimpin transformasional. Tapi sesungguhnya mereka hanya pseudo transformational leader. Visi yang mereka jual sangat manipulatif, menipu rakyat. Jika kita tengok ke masa lalu, Hitler dan Mahatma Gandhi adlah pemimpin transformational bagi bangsanya masing-masing.
Tapi tanpa perlu diperdebatkan lagi, kita akan sepakat bahwa Hitler sebagai yang
pseudo transformational leader dan sebaliknya Gandhi
is authentic tranformational leader.
[***]
Gde Siriana Yusuf
Direktur Eksekutif Trans-Gov Institute
BERITA TERKAIT: