Sinyal pelemahan terlihat dari kinerja ekonomi pada November 2025, ketika produksi industri dan penjualan ritel sama-sama mencatat laju terendah dalam lebih dari satu tahun.
Data Biro Statistik Nasional (NBS) China yang dirilis Senin menunjukkan produksi industri hanya tumbuh 4,8 persen secara tahunan, melambat dari 4,9 persen pada Oktober dan berada di bawah proyeksi pasar sebesar 5 persen. Capaian ini menjadi yang terlemah sejak Agustus 2024, mencerminkan tekanan berlanjut pada sektor manufaktur.
Di sisi konsumsi, penjualan ritel hanya tumbuh 1,3 persen, anjlok dari 2,9 persen pada Oktober dan jauh dari perkiraan pasar sebesar 2,8 persen. Angka tersebut merupakan pertumbuhan terendah sejak Desember 2022, saat China mulai melonggarkan kebijakan nol-Covid.
Perlambatan konsumsi ini terjadi di tengah memudarnya subsidi tukar tambah, krisis sektor properti yang belum pulih, serta risiko deflasi yang terus membayangi perekonomian terbesar kedua dunia tersebut.
Ekonom Senior Economist Intelligence Unit, Xu Tianchen, menilai ketergantungan China pada ekspor masih menjadi faktor penahan tekanan domestik.
"Ekspor yang kuat membatasi kebutuhan untuk menggenjot permintaan domestik tahun ini, dan subsidi tukar tambah mulai kehilangan daya dorong," ujar Xu Tianchen, dikutip Senin, 15 Desember 2025.
Target pertumbuhan sekitar 5 persen untuk tahun ini dinilai masih berada dalam jangkauan, sehingga stimulus tambahan belum dianggap mendesak.
Tekanan ekonomi juga terlihat dari sektor properti dan otomotif. Harga rumah baru kembali turun pada November, seiring melemahnya investasi dan penjualan properti. Penjualan mobil secara tahunan tercatat merosot 8,5 persen, penurunan terdalam dalam 10 bulan terakhir, yang meredupkan harapan pemulihan konsumsi menjelang akhir tahun. Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management, Zhang Zhiwei, menilai perlambatan terjadi secara menyeluruh.
"Perekonomian melambat secara menyeluruh pada November, dan lemahnya penjualan ritel menjadi sorotan utama," katanya.
Di tingkat global, strategi China yang semakin mengandalkan ekspor menghadapi tantangan baru. Dilansir dari AA, sejumlah mitra dagang mulai meningkatkan hambatan impor terhadap produk China, menyusul surplus perdagangan negara tersebut yang mendekati US$1 triliun.
Meksiko, misalnya, telah menyetujui kenaikan tarif hingga 50 persen terhadap impor dari China mulai tahun depan, sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron mengancam akan mengenakan tarif tambahan dan mendesak Beijing memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan global.
Meski demikian, pemerintah China menegaskan keyakinannya terhadap prospek ekonomi nasional.
Perdana Menteri China Li Qiang menyatakan negaranya tetap optimistis dapat mencapai target pertumbuhan tahun ini meski menghadapi tekanan eksternal dan pelemahan permintaan. Ia juga menilai ekonomi China tetap bergerak maju di tengah tekanan global dan menyerukan perbaikan tata kelola ekonomi dunia serta keterbukaan perdagangan internasional.
Sebagai konteks, Bank Dunia pada Oktober menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk 2025 menjadi 4,8 persen, mendekati target pemerintah sekitar 5 persen. Namun, sejumlah ekonom menilai target tersebut tetap menantang, mengingat lemahnya konsumsi domestik, krisis properti yang berkepanjangan, serta meningkatnya resistensi global terhadap ekspor China.
BERITA TERKAIT: