Setelah saya pelajari letak permasalahannya justru ada di Pasal 83 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda itu sendiri, tapi sebelum saya bahas Pasal a quo, baiknya saya jelaskan juga proses hukum acara pidana menurut KUHAP dan praktek agar masyarakat umum bisa memahami persoalan hukum ini.
Jadi, jika seseorang dijadikan Tersangka oleh Penyidik, umumnya dikenakan minimum untuk 2 pasal tindak pidana, misalnya Pasal 156 KUHP atau Pasal 156a. Selanjutnya, dalam proses pelimpahan perkara ke pihak Kejaksaan, jika Jaksa Peneliti menganggap unsur pembuktian perkaranya cukup lengkap, maka dinyatakan P-21 untuk selanjutnya diajukan ke muka persidangan. Lalu ditunjuklah Penuntut Umum dan kemudian perkaranya didaftarkan di Pengadilan beserta dengan Surat Dakwaan yang berisikan dugaan dua pasal tindak pidana yang dikenakan kepada Tersangka tadi.
Pada proses pembuktian di persidangan, status Tersangka tadi kemudian berubah menjadi Terdakwa, di mana agenda pertama persidangan adalah pembacaan Surat Dakwaan ini. Surat Dakwaan ini bukan berarti kemudian si Terdakwa sudah pasti bersalah. Setelah Surat Dakwaan dibacakan, dilanjutkan dengan agenda pembuktian dengan menghadirkan saksi-saksi, ahli, alat bukti lainnya dan barang bukti. Setelah pembuktian selesai, baru Penuntut Umum mengajukan Surat Tuntutan kepada Terdakwa yang berisikan 1 Pasal yang diyakini Penuntut Umum dan jenis sanksi atau lamanya pemidanaan. Setelah itu Terdakwa mengajukan Pleidoi, Duplik. Baru kemudian, Majelis Hakim memutuskan mengenai Tuntutan yang diajukan.
Kembali kepada Pasal 83 ayat 1 UU Pemda 2014, yang menyebutkan bahwa "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Jadi, secara limitatif UU a quo telah menetapkan bahwa Kepala Daerah/Wakil dapat diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD, jika berstatus Terdakwa dengan tindak pidana:
1. Tindak Pidana Kejahatan yang diancam penjara paling singkat (minimum) 5 tahun. Ini artinya, untuk jenis tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang diancam penjara mulai dari 1 hari sampai dengan 4 tahun 11 bulan 30/31 hari tidak dapat dijadikan alasan pemberhentian sementara tersebut;
2. Tindak Pidana Korupsi. Ini artinya, jika Terdakwa diancam Pasal Tipikor, maka diberhentikan sementara;
3. Tindak pidana terorisme;
4. Makar;
5. Tindak Pidana Keamanan Negara. Di KUHP, tindak pidana diatur dalam Bab I mulai dari Pasal 104 sd 129.
6. Perbuataan Lain yang dapat memecah belah NKRI. Pertanyaannya adalah apakah ini bentuk suatu tindak pidana yang harus didakwakan atau jenis diskresi/keputusan politik hukum Presiden? Bagaimana mekanisme menentukan seseorang Kepala Daerah/Wakilnya diberhentikan sementara karena diduga melakukan perbuatan ini? Tafsiran hukum acaranya bagaimana?
Kembali kepada kasus Ahok, yang didakwa dengan Pasal 156 KUHP yang ancaman hukumannya Paling Lama (Maksimum) 4 Tahun sebagai dakwaan primer/kesatu; dan Pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya Paling Lama (Maksimum) 5 Tahun. Ini artinya, dakwaan pertama tidak memenuhi unsur Pasal 83 ayat 1 UU Pemda 2014 untuk jenis tindak pidana pertama tidak memenuhi unsur ini. Sedangkan untuk dakwaan kedua, unsur alasan pemberhentian ini terpenuhi.
Permasalahannya adalah Pasal 83 UU Pemda 2014 ini tidak menjelaskan bagaimana jika sebuah Surat Dakwaan mengandung 2 jenis tindak pidana yang saling bertentangan untuk pemenuhan unsur ini. Begitupun dengan persoalan unsur "Perbuatan Memecah Belah NKRI". Sehingga mengakibatkan kekacauan penafsiran oleh banyak orang bahkan para ahli hukum.
Oleh sebab itu, usulan saya adalah sebaiknya ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk ditafsirkan lebih konstitusional atau dibuat Perpu atau meminta Fatwa Mahkamah Agung RI. Demikian usulan urun rembug saya. Semoga bermanfaat.
Salam dan jangan lupa perbanyak senyum ya...
[***] Husendro
Penulis adalah kandidat Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana FHUI
BERITA TERKAIT: