Kekuasaan cenderung korup karena sistim yang ada melegalkan korupsi melalui lobi-lobi politik, Thomas Hobbes. Korupsi itu sesuatu yang alamiah. Korupsi berkaitan erat dengan karakter hakiki dalam diri manusia itu sendiri. Karakter hakiki manusia itu mempenguruhi perspektifnya terhadap lingkungan atau masyarakatnya. Jika manusia berkarakter hakiki seperti manusia ala Hobbes hidup dalam sebuah sistem maka otomatis sistem itu dipengaruhi. Thomas Hobbes mempercayai mekanisme sistim pengawasan dari pada figur per orang karena manusia mudah tergoda dan kecenderungan serakah. Persoalan mendasar mengapa korupsi menjadi habit elit politik.
Orientasi kekuasan hanya sekedar mencari kekuasan dan harta maka politik kehilangan orientasi sebagai aktivitas pelayanan publik demi mencapai kesejahteran bersama. Dimensi politik semata-mata dimaknai sekedar sifatnya material belaka akibat kehilangan nalar yang sehat. Realitas kehidupan saat ini dipenuhi dengan kepalsuan. Hukum darwinisme sosial telah berlaku dalam panggung politik: "Siapa kuat dia menang, dan yang lemah minggir saja." Cinta yang tulus telah hilang dari sanubari bangsa. Yang ada hanya kecenderungan memuaskan diri dalam dunia kekuasaan dan kepopuleran. Kita harus menegaskan kembali makna berpolitik dan berkekuasaan membangun bangsa menjadi negara adil dan makmur yang luhur bermartabat. Pada tataran ini, kita harus belajar dari para pendahulu negeri. Mereka bisa mewarnai politik dengan gagasan-gagasan dan cita-cita besar Indonesia. Berpolitik adalah tekad bulat untuk membangun bangsa dengan penguasa yang berpihak kepada rakyat.
Karenanya, pertobatan dalam perpolitikan sangat diperlukan guna mengubah orientasi politik kartel, karakter pragmatis dan menghamba uang, menjadi berpolitik dengan keutamaan dan cita-cita. Ini harus dimulai dengan keberanian partai politik mengubah cara pandang. Partai politik harus kembali membangun ideologi berpartai, sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang dan kekuasaan. Dalam ideologi itulah tersimpan cita-cita rakyat dan gagasan bernegara yang harus diperjuangkan. Inilah yang hilang, yakni tiadanya elite politik yang memiliki jiwa merdeka. Wajah gelap politik harus segera digantikan oleh wajah terang yang muncul dari jiwa-jiwa merdeka para politisi yang kembali menjunjung etika dan moral. Pada jiwa-jiwa merdeka, mereka berpolitik dengan beradab dan menjadi bermanfaat bagi masyarakat.
Pejabat publik untuk berani hidup bersih serta memiliki keutamaan mendasar sangatlah penting demi bersinarnya kembali kebajikan dan keadilan, sebagaimana Filsuf St Thomas Aquinas mendefinisikan keadilan sebagai "suatu kebiasaan di mana orang melakukan setiap kewajibannya dengan kemauan yang tetap dan terus-menerus." Dalam keadilan ini, kewajiban pertama adalah kewajiban terhadap Tuhan. Kita wajib berdoa, bersembah sujud, dan taat kepada-Nya. Dan yang kedua adalah kewajiban terhadap sesama, tidak hanya untuk menjauhkan diri dari berbuat jahat kepada sesama, tetapi juga untuk melakukan apa yang baik kepada mereka.
Selanjutnya, ada tiga dimensi dalam kebajikan keadilan ini, yakni keadilan komutatif atau timbal balik, distributif, dan keadilan legal atau umum. Keadilan komutatif mengatur hubungan timbal balik antar individu, sementara keadilan distributif mengatur hubungan antara komunitas sebagai suatu kesatuan dengan anggota-anggota individualnya. Di sini, mereka yang diserahi kepercayaan memelihara kesejahteraan anggota wajib memastikan diberikannya apa yang menjadi hak para anggota itu. Terakhir, keadilan legal atau umum, yang menyangkut hubungan individu dengan komunitas secara keseluruhan. Jadi, setiap orang mempunyai kewajiban untuk dilaksanakan, termasuk kewajiban untuk menaati hukum-hukum yang adil yang menjamin kesejahteraan bersama.
Keutamaan ini akan terjadi bila pemutus tali temali kultur korup menjadi cara berpikir, bertindak, berelasi pejabat publik. Ada keberanian dari pemimpin tertinggi mengembalikan keadaban politik lewat pembenahaan partai politik dan insan politik harus diatur dalam sistim pengawasan publik.Persoalnya, kultur korupsi masuk jantung partai politik (parpol) membuat publik bertanya, di manakah sebenarnya posisi parpol dalam memerangi korupsi. Ataukah korupsi menjadi habitus pejabat publik karena mentalitas penerabas? Akar dari semua ini menurut mendiang Mochtar Lubis (1997), mentalitas bangsa masih percaya takhayul. Dalam artian, takhayul ini menjadi penghambat kemajuan dan membunuh semangat kerja untuk meningkatkan produktivitas. Tentu saja, takhayul berbeda dengan kepercayaan gaib.
Menghamba pada takhayul hanya menjadi manifestasi dari kemalasan.Mental penerabas berbanding lurus dengan kemalasan. Yang menanam dan menyuburkan mental penerabas, dengan sendirinya akan membunuh semangat dan mematikan akal sehat. Orang-orang bermental penerabas sejatinya tak layak hadir di panggung politik. Dia akan mengingkari proses menjadi negarawan karena mencari kekuasan untuk diri sendiri.Kehadiran Pemimpin sangat dibutuhkan tidak cukup berkata Stop elit korupsi melainkan ada keberanian memperbaiki sistim korup lewat perubahaan undang-undang politik mengatur secara ketat menggunakan dana publik kepentingan politik dan ada keberanian pemutusan tali korup lewat mekanisme kebijakaan partai politik dibiayai negara dan penggunaan dana partai politik diawasi lembaga independen. Perbaikan lewat sistim politik dan mekanisme dalam meningkatkan kualitas orang-orang masuk partai politik adalah pilihan yang tepat demi hari esok penuh harapan.
[***]
Benny Susetyo PRRohaniwan
BERITA TERKAIT: