Pertama, kami sebagai bagian dari sipil yang tak lepas dari kerja-kerja bersama rakyat penghuni kampung-kampung di Jakarta mengingatkan bahwa yang kami pilih dan yang dipilih oleh sebagian besar rakyat Jakarta sebagai gubernur DKI dalam Pilkada 2012 adalah Jokowi bukan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Namun kami dan juga rakyat miskin di Jakarta benar-benar rela, ikhlas dan mendukung Jokowi bergeser posisi dari gubernur menjadi Presiden RI dengan harapan bahwa sebagai presiden, Jokowi akan lebih mampu menyelesaikan persoalan Jakarta bersama gubernur penggantinya. Namun dalam kenyataannya setelah menjadi presiden, Jokowi mengingkari janji pada rakyat miskin ibu kota. Jokowi bungkam saat rakyat dianiaya dan dihilangkan hak-haknya oleh Gubernur Ahok yang menggantikannya. Padahal, rakyat itulah yang selama ini menjadi basis kemenangan PDIP dalam pemilu, pilkada dan juga pilpres. Presiden Jokowi juga diam saat Jakarta dikelola dengan meninggalkan nilai-nilai keadilan yang dulu dijanjikannya.
Kedua, kami menyampaikan keprihatinan, kekecewaan dan bahkan kemarahan atas kinerja dan arah kebijakan Gubernur Ahok dalam mengurus Jakarta. Ahok bisa menjadi gubernur berkat dukungan rakyat dan PDIP, namun ia mengkhianati rakyat dan partai pendukungnya. Kebijakan dan kinerjanya sebagai gubernur menghancurkan harapan rakyat dan bertentangan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan PDIP yaitu demokrasi dan keadilan.
Berikut sekadar contoh yang membuktikan bahwa Gubernur Ahok adalah penguasa anti demokrasi dan anti keadilan;
1. Hanya dalam waktu setahun (2015) terjadi 113 kasus penggusuran paksa oleh Pemprov DKI, di mana 67 persen diantaranya dibiarkan tanpa solusi, dengan jumlah korban sebanyak 8.145 kepala keluarga dan 6.283 unit usaha yang terdampak. Penggusuran membuat kualitas hidup rakyat memburuk. Mereka tak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga tempat usaha dan pekerjaan. Bahkan korban gusuran yang direlokasi di rumah susun pun mengalami proses pemiskinan. (sumber: LBH Jakarta, 2015).
2. Penggusuran paksa terhadap rakyat miskin dilakukan Pemprov DKI dengan kekerasan dan melibatkan tentara. Dari 113 kasus penggusuran, 65 kali TNI terlibat dalam penggusuran tersebut. Hal ini bertentangan dengan UU TNI.
3. Dengan penuh arogansi Gubernur Ahok menyatakan bahwa di tahun 2016 akan menggusur warga di 325 kampung, dan jelang pilkada akan lebih gencar lagi melakukan penggusuran. Hanya penguasa fasis yang mampu menghina dan menganiaya rakyat dengan penuh kebanggaan, seolah suara rakyat tak ada artinya bagi kekuasaannya.
4. Hasil kajian yang dilakukan Mahmud Syaltout terhadap 10 produk peraturan terkait reklamasi di Teluk Jakarta melalui olahan Computer Assisted Qualitative Data Analysis (CAQDAS) menggunakan software MAQDA 12 menunjukkan untuk siapa sebenarnya Gubernur Ahok bekerja. Dari kesepuluh peraturan tersebut, reklamasi disebut sebanyak 632 kali, kemudian secara spesifik menyebut korporasi sebanyak 123 kali dan rakyat atau masyarakat hanya sebanyak 31 kali. Artinya, 80 persen dari produk hukum tersebut lebih berpihak pada korporasi dan 20 persen sisanya untuk rakyat. Hasil kajian Mahmud ke setiap peraturan menunjukkan, rakyat atau masyarakat hanya hadir dalam produk hukum yang dikeluarkan oleh Soeharto, Djoko Kirmanto dan Gubernur Foke. Sedangkan keberpihakan pada korporasi lebih dari 95 persen merupakan produk hukum yang dikeluarkan Ahok dan sisanya oleh Foke. Mengenai korporasi dan produk hukum, PT Muara Wisesa Samudra (anak usaha Agung Podomoro Land), PT Nusantara Tegas, PT Jakarta Propertindo, PT Jaladri Kartika Paksi dan PT Pembangunan Jaya Ancol mendapatkan keistimewaan eksklusif dari produk-produk hukum yang dikeluarkan dan ditandatangani Gubernur Ahok.
5. Laporan BPS menyebutkan, indeks gini Jakarta melompat dari 0,43 pada September 2014 menjadi 0,47 pada September 2015. Ini menunjukkan, ketimpangan sosial ekonomi di Jakarta semakin serius. Selain itu, jumlah orang miskin juga bertambah 5.630 orang. Peningkatan ketimpangan dan bertambahnya jumlah orang miskin menggarisbawahi hasil kajian Mahmud Syaltout dan sekaligus menegaskan rendahnya kinerja Gubernur Ahok dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Atau dengan kata lain kerja-kerja Gubernur Ahok tidak untuk rakyat.
6. Pada awalnya kami menilai Ahok sebagai pemimpin tegas yang bisa diharapkan membenahi birokrasi. Namun lambat laun kami menyadari bahwa Ahok menunjukkan kekurangannya yang sangat vital. Ia tidak memiliki kemampuan mendengar dan berempati pada warga miskin. Ia bukanlah pemimpin tegas, melainkan penguasa yg suka sekali marah, mengumpat, menghina dan mencaci siapapun yang tak sependapat atau yang mengkritiknya. Bukannya menyatukan kekuatan yang ada untuk bekerjasama membangun Jakarta, Ahok justru menciptakan konflik dan perpecahan di sana sini, termasuk menggunakan isu SARA untuk mendapatkan simpati publik.
7. Gubernur Ahok getol membatasi hak berpendapat dan berekspresi di Jakarta. Dalam beberapa bulan terakhir, ada enam pemaksaan pembatalan acara di Jakarta. Bahkan Gubernur Ahok mengusulkan untuk mengisi water cannon dengan bensin untuk mengatasi pengunjuk rasa dan membatasi area khusus untuk berunjuk rasa.
Ketiga, dengan mempertimbangkan data dan fakta terkait kinerja dan arah kebijakan Gubernur Ahok dalam mengurus Jakarta, kami mendesak PDIP sebagai partai Wong Cilik untuk menolak dukungan terhadap calon gubernur DKI yang terbukti anti demokrasi dan anti keadilan. Kami tahu Gubernur Ahok terus melobi dan mendesak Presiden Jokowi dan Ibu Megawati agar mendukung pencalonannya sebagai gubernur DKI dalam Pilkada 2017. Meski demikian kami percaya bahwa tak ada basis moral dan ideologi yang bisa dijadikan sebagai dasar bagi Presiden Jokowi dan PDIP untuk mendukung seorang calon gubernur yang terbukti anti demokrasi.
Sebagai pemimpin kota, Ahok telah menjadikan Jakarta sebagai ruang privat yang lebih melayani kepentingan konglomerat dengan mengorbankan hak-hak rakyat. Kami percaya, Ibu Megawati masih mengingat peristiwa di tahun 2002, di mana rakyat korban penggusuran Gubernur Sutiyoso secara masif mencabut dukungan terhadap PDIP dengan mengembalikan kartu keanggotaan. Akibatnya, PDIP mengalami kekalahan di tahun 2004. Kami juga percaya, Presiden Jokowi akan membayar hutangnya pada rakyat dengan menghentikan penggusuran dan mendorong terwujudnya kota yang demokratis dan berkeadilan.
Jakarta, 19 Agustus 2016
Forum Kampung Kota
Penanda tangan surat terbuka;
1. I Sandyawan Sumardi, pekerja kemanusiaan,
[email protected].
[***]
BERITA TERKAIT: