Masyarakat sering dibuat bingung oleh hasil guick count lembaga survei. Terkadang lembaga survei A menyatakan calon A sebagai pemenang, sementara lembaga survei B menyatakan calon B sebagai pemenang. Semuanya bertumpu kepada hasil quick count di masing-masing lembaga survei. Bahkan kenyataannya, lembaga survei sering kali berani melampaui kuasa Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yakni berani menggaransi akurasi hasil quick count 100 persen kebenarannya, sehingga terbangun asumsi, jika KPU menyatakan hasil yang berbeda, maka KPU yang salah.
Masyarakat dituntut untuk jeli dalam hal ini. Masyarakat harus menyadari bahwa lembaga survei menggunakan sistem acak (random) dalam penentuan hasil quick count. Yakni, akumulasi perolehan suara diambil dari beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) saja secara acak, tidak menyeluruh. Sehingga hasilnya pun masih sepenuhnya dalam batas kemungkinan, bukan kepastian. Belum lagi, jika ada calon yang mengajukan banding atas temuan kecurangan dalam pemilihan, maka hasil penentuan pemenang semakin bias.
Sejatinya, kemunculan quick count merupakan hasil dari kemajuan teknologi informasi. Di tengah arus globalisasi, semua bisa dilakukan secara instan dan cepat. Saat tuntutan globalilasi masuk ke dunia politik, maka lahirlah sistem quick count. Tujuan dasarnya adalah sebagai alat untuk mempermudah kinerja para pihak dalam pemungutan suara. Tapi bahayanya, jika tujuan ini bergeser menjadi pengganti posisi para pihak, dalam hal ini adalah KPU.
Lebih jauhnya lagi, seringkali lembaga survei dijadikan kendaraan provokasi. Kentalnya arus politik kotor akan semakin menjadikannya ibarat bola salju. Semakin besar egoisme politik serta rendahnya profesionalisme lembaga survei, akan menjadikan masyarakat semakin apatis untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi seperti sekarang ini. Sebab kegaduhan politik terlihat semakin jelas di hadapan masyarakat. Lembaga survei yang seharusnya berperan sebagai pengamat, justru berkamuflase menjadi pihak yang berkepentingan.
Sejauh ini, belum ada penelitian yang menyatakan bahwa kehadiran lembaga survei mampu meningkatkan minat partisipasi masyarakat dalam mengawal demokrasi. Utamanya, dengan kemunculan sistem quick count. Tapi kenyataannya, justru menjadikan masyarakat semakin pusing dengan kemunculan klaim kemenangan sepihak. Maka dengan demikian, masyarakat harus disadarkan, bahwa KPU adalah lembaga tertinggi yang memiliki kuasa atas penentuan pemenang kontentasi, bukan lembaga survei. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan untuk sabar menunggu hasil resmi yang akan dirilis oleh KPU nantinya. Jangan sampai wewenang KPU dibajak oleh lembaga survei.
[***]Muflih HidayatPenulis adalah pengamat politik UIN Jakarta sekaligus Ketua Umum HMI KOMFUF Cabang Ciputat
BERITA TERKAIT: