Puncak salah satunya. Hampir setiap akhir pekan pasti jalur menuju Puncak selalu dipenuhi oleh kendaraan dari Jakarta. Hal ini wajar terjadi karena Puncak memiliki pemandangan alam yang indah. Banyak pohon-pohon besar yang tinggi menjulang di sana.
Namun, sayang seribu sayang. Banyaknya pohon yang tinggi menjulang tak mampu menggaransi Bogor untuk terhindar dari kekeringan dan kekurangan pasokan air bersih. Hari ini Bogor diserang bencana kekeringan dan krisis air bersih.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bencana ini akan berjalan hingga November 2015. Sementara itu, Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Pakuan, Untung Kurniadi memprediksi bahwa Bogor akan mengalami kekurang pasokan air bersih yang berkepanjangan pada tahun 2017.
Untung mampu memprediksi hal ini dengan melihat kapasitas air yang ada di Bendungan Katulampa Kota Bogor. Kapasitas air di Katulampa sekitar 2.050 liter per detik, sementara kebutuhan normalnya adalah 2.700 liter per detik. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bogor akan membangun Bendungan Katulampa, sehingga bendungan tersebut memiliki kapasitas yang memadai. Rencana anggarannya mencapai angka 24 Milyar. Sungguh angka yang fantastis, jika mengingat keterbatasan anggaran APBN/APBD.
Kondisi ini akan semakin sulit, jika kita melihat kecepatan laju pertumbuhan penduduk di Kota Bogor. Setiap tahun, Bogor mengalami peningkatan 2,74 persen jumlah penduduknya. Jika demikian, maka kebutuhan air bersih akan semakin meningkat. Belum lagi persoalan kuatnya arus moderninasi di Indonesia. Dampak modernisasi adalah laju pembangunan gedung industri yang tak mampu dikendalikan. Sehingga lahan tanah sebagai resapan air akan semakin menipis. Tentunya, hal ini yang patut kita fikirkan bersama.
Biopori sebagai Gerakan Sadar Lingkungan
Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) Kamir R Brata menemukan sebuah teknologi alami untuk mengatasi problema di atas. Teknologi alami itu disebut Lubang Resapan Biopori (LRB). Hanya berbekal alat khusus sederhana, kita cukup membuat lubang yang diameternya sekitar 20 centimeter dengan kedalaman 2 meter. Kemudian lubang tersebut kita isi dengan sampah organik.
Beberapa hari kemudian, sampah organik akan berubah dengan sendirinya menjadi mikroba. Pori-pori tanah akan melebar dan menjadi gembur berkat adanya mikroba tersebut.
Tanah dengan pori-pori yang besar akan mampu menampung air saat hujan melebihi kapasitas biasanya. Sehingga saat hujan lebat datang, musibah banjir akan terhindar. Sedangkan saat kemarau tiba, kita tak akan kekurangan air. Karena kita punya "celengan" air yang disimpan saat musim hujan sebelumnya. Dengan demikian kita akan terhindar dari musibah banjir dan kekeringan.
Ibarat kata pepatah, punnguk merindukan rembulan. Saat bencana kekeringan datang, solusi LRB pun hadir. LRB seolah-olah menjadi "win win solution". Tapi sayangnya, belum banyak orang yang tau apa itu LRB. Sehingga harapan tersebut menjadi harapan semu. Berangkat dari sinilah, Hazairih Sitepu (CEO Radar Bogor) dan Gatut Susanta (Mantan Anggota DPRD Kota Bogor) menggagas "Gerakan 5 Juta Biopori". Tujuannya adalah menyadarkan masyarakat Bogor agar peduli terhadap lingkungan, khususnya agar peduli untuk mencegah bencana kekeringan dan banjir dengan membuat LRB di tiap-tiap rumah.
Bisa kita bayangkan, jika tiap rumah warga Bogor memiliki 5 LRB, maka akan ada jutaan LRB di Bogor. Dengan adanya LRB dalam skala besar ini, tentu Bogor akan benar-benar terhindar dari kekeringan. Kini, Hal yang harus dilakukan adalah membangkitakan masyarakat untuk sadar betapa pentingnya LRB. Harapan selanjutnya jika LRB sudah menyebar di Bogor, maka daerah-daerah lain harus mencontohnya.
[***] Mega Silvana Nainggolan
Penulis adalah Ketua Kuliah Kerja Nyata (KKN) Galaxy di Sukajadi Tamansari Bogor sekaligus Mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta.
BERITA TERKAIT: