Istilah "bukber" sudah memiliki ruangnya sendiri di telinga kita manakala menjelang bulan puasa. Biasanya, para peserta bukber harus menyisihkan uangnya untuk iuran beberapa hari sebelum bukber, kemudian iuran itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan logistik saat bukber dilaksanakan. Jika peserta tak ingin berkeringat untuk menyiapkan bukber, maka solusinya ialah dengan mengadakan bukber di restoran atau cafe. Sehingga para peserta bisa ngobrol dan santai menunggu adzan tiba.
Sejatinya, Bukber merupakan momen berbagi kepada kerabat dan teman terdekat, Ada rasa kebahagian tersendiri di dalamnya. Akan tetapi, bukber menjadi tak bernilai manakala bukber dijadikan ajang hura-hura dan pamer. Pada kenyataannya, bukber tidak lagi dimaknai sebagai momen berbagi. Akan tetapi bukber menjadi ajang adu gengsi. Prinsipnya, semakin mewah menu makanan, maka akan semakin dirasa sempurna puasanya.
Ini berbanding terbalik dengan prinsip dasar puasa. Nabi Muhammad mengajarkan bahwa puasa merupakan ritual pengekangan hawa nafsu. Dengan berpuasa, kita bisa merasakan bagaimana kondisi kelaparan yang biasa dialami oleh saudara-saudara kita yang kekurangan. Dengan demikian, puasa diharapkan mampu menjadikan kita sebagai manusia yang sederhana dan mensyukuri nikmat yang ada.
Jika bukber diselenggarakan atas prinsip adu gengsi, maka nilai puasa akan menjadi sirna. Usaha kita menahan haus dan lapar tidak akan memberikan efek positif pada perilaku kita ke depannya. Oleh karena itu, tradisi bukber harus dimaknai kembali. Agar puasa kita tidak sia-sia dan mampu merubah kita menjadi pribadi yang peduli terhadap sesama.
[***]
Muflih Hidayat
Ketua Umum HMI KOMFUF Cabang Ciputat