Kegiatan ini menghadirkan tokoh lintas agama, akademisi, serta aktivis lingkungan sebagai respons atas kian parahnya krisis ekologi di Indonesia.
Menteri Agama RI Nasaruddin Umar hadir sebagai pembicara kunci. Sejumlah narasumber turut memperkaya diskusi, di antaranya Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang, aktivis Institute Hijau Indonesia Chalid Muhammad, Guru Besar PTIQ Prof. Dr. Hj. Nur Arfiyah, aktivis Greenpeace Khalisah Khalid, serta perwakilan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr. Antonius Subianto Bunjamin.
Ketua Umum DPN Gerbang Tani Idham Arsyad menegaskan bahwa tema taubat ekologis lahir dari refleksi panjang atas dampak bencana ekologis yang tidak sesaat.
“Ada salah satu rekan saya yang terlibat langsung dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami Aceh menyebutkan bahwa dampak bencana di Sumatera membutuhkan waktu hingga 30 tahun untuk pulih. Hulu dan hilirnya sama-sama terhantam. Situasi inilah yang mendorong kami mengangkat tema taubat ekologis,” ujar Idham.
Menurutnya, taubat ekologis tidak semata dimaknai sebagai simbol keagamaan, melainkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki relasi manusia dengan alam.
“Dalam perspektif Islam dan agama-agama lain, relasi manusia dan alam seharusnya bersifat rahmatan lil ‘alamin, bukan eksploitatif. Krisis ekologi hari ini menuntut kerja sama lintas sektor—tokoh agama, akademisi, NGO, hingga pembuat kebijakan. Tugas ini berat dan tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri,” tegasnya.
Menag Nasaruddin menekankan pentingnya pendekatan ekoteologi sebagai fondasi etik dalam kebijakan lingkungan. Menurutnya, bumi dan alam semesta merupakan ciptaan Tuhan yang bersifat sakral dan tidak boleh diperlakukan sebagai objek eksploitasi tanpa batas.
“Alam bukan sekadar sumber daya, melainkan amanah ilahi yang wajib dijaga keberlanjutannya. Kerusakan hutan, pencemaran air, dan konflik lahan bukanlah ‘biaya pembangunan’, tetapi tanda terganggunya relasi manusia dengan amanah Tuhan,” tegas Menag.
Seruan taubat ekologi Menag Nasaruddin senada dengan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat sekaligus inisiator Gerbang Tani Muhaimin Iskandar (Cak Imin) beberapa waktu yang lalu. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga lingkungan dari tangan-tangan tak bertanggungjawab.
Menag menambahkan, ada keterbatasan akal manusia dalam memahami seluruh realitas. Ia menyoroti keterhubungan energi semesta yang menegaskan bahwa seluruh ciptaan saling terkait.
“Merusak satu bagian bumi berarti mengguncang keseluruhan ekosistem, termasuk kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam,” ujarnya.
Dalam elaborasi teologis, Menag mengutip pemikiran Ibnu Arabi tentang tajalli dan konsep acosmos, yang memandang alam sebagai manifestasi sifat-sifat Ilahi. Karena itu, alam tidak pantas diperlakukan sebagai benda mati yang bebas dieksploitasi.
Menag menilai bahasa agama memiliki daya dorong kuat untuk menggerakkan perubahan, terutama ketika pendekatan teknokratis mengalami kebuntuan. Melalui inisiatif Kurikulum Cinta, Kementerian Agama berupaya menanamkan kesadaran ekologis berbasis nilai spiritual.
Ia pun menuturkan pesan reflektif yakni Tundalah kiamat dengan merawat bumi. Lalu, Menag juga memberikan catatan kritis bahwa taubat ekologis tidak boleh berhenti pada retorika moral.
“Taubat ekologis harus menjadi paket kerja yang bisa diawasi publik, mulai dari audit izin dan konsesi, pemulihan daerah aliran sungai, rehabilitasi hutan, pembenahan tata ruang berbasis risiko bencana, hingga penegakan hukum yang menyasar pelaku dan rantai keuntungan,” tegas Menag Nasaruddin.
Seminar nasional ini menjadi penegasan bahwa krisis ekologi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan moral, spiritual, dan kebijakan yang menuntut keberanian untuk berubah, sebuah taubat ekologis bersama demi masa depan bumi.
BERITA TERKAIT: