Tabiat Jokowi Kurang Hati-hati

Minggu, 03 Mei 2015, 12:09 WIB
<i>Tabiat Jokowi Kurang Hati-hati</i>
presiden joko widodo/net
PADA semester awal pemerintahan Jokowi banyak sekali kejanggalan yang tampak. Wajar jika akhirnya, beberapa lembaga survei merilis hasil yang kurang lebih sama, bahwa sebagian besar rakyat tidak puas terhadap pemerintah Jokowi. Di awal-awal mungkin rakyat bisa memaklumi, namun lama kelamaan tidak masuk akal dan semakin sulit dipahami.

Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan pemerintahan saat ini adalah Jokowi makin jauh dari rakyat. Bila sebelumnya muncul semboyan 'Jokowi Adalah Kita'. Maka saat ini, mulai jelas, sebenarnya siapakah kita yang dimaksudkan. Ternyata, kita itu bukanlah rakyat, tapi kita adalah para pengusung saat pemilu. Selanjutnya, rakyat hanya menjadi legitimasi dalam proses demokrasi. Dan selanjutnya ditinggalkan.

Kenyataan ini makin jelas, ketika Jokowi menyampaikan alasan bahwa pemerintahannya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebuah pesan bahwa tidak perlu berharap banyak kepada presiden Jokowi. Karena Jokowi bukanlah apa-apa/siap-siapa. Hanya ada di Indonesia, seorang menteri berani mengatakan bahwa presidennya hanyalah seorang petugas partai. Dan kemudian dipertegas dalam sebuah kongres, yang secara jelas memposisikan Jokowi  hanyalah sebagai petugas, bukan presiden berdaulat.

Sebenarnya Jokowi telah kehilangan kewibawaannya, pada saat 'diam', ketika disebut sebagai petugas partai. Diamnya Jokowi memberikan pesan bahwa Ia mengiyakan pernyataan tersebut. Jokowi sadar bahwa ia bukanlah apa-apa/siapa-siapa tanpa mandat yang diberikan kepadanya. Ibarat kawulo yang selalu patuh dan taat hanya kepada tuan/puan nya.

Wajar, jika sampai hari ini tidak banyak kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Bahkan sebaliknya, yang banyak adalah kebijakan yang menambah beban rakyat. Kerja yang dilakukan  pun bukan atas kehendaknya sendiri, namun sepenuhnya adalah kehendak tuan/puan nya.

Diamnya Jokowi juga berarti bahwa Ia tidak terima atas pernyataan tersebut namun sungkan/tidak berani menyampaikan. Karena yang menyatakan adalah  pihak yang sangat berjasa padanya. Apapun alasannya, tentu rakyat sangat kecewa dengan sikap tersebut. Jokowi telah dipilih dan diberikan mandat oleh rakyat, namun kenyataannya tidak mampu menjaga kewibawaan dan kehormatan presiden yang melekat padanya.

Sebenarnya kekecewaan rakyat sudah mulai terlihat di awal pemerintah Jokowi. Pertama, pada saat pembentukan kabinet yang kemudian disusul dengan keluarnya berbagai kebijakan yang menambah beban hidup rakyat. Alih-alih kabinet ramping yang diisi oleh kalangan profesional, justru yang terbentuk adalah kabinet yang sangat gemuk, tanda jasa bagi para pengusung. Bahkan, karena dirasa tidak cukup pos yang ada, maka dibuatlah posisi-posisi baru dalam kabinet. Sempurnalah, sebuah kabinet balas budi.

Semakin lengkap kekecewaan rakyat ketika pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM dan menyerahkannya pada mekanisme pasar, menaikkan tarif dasar listrik, harga elpiji, tiket kereta api, dan berbagai kebutuhan hidup lainnya. Hilangnya perlindungaan negara kepada rakyatnya. Sebuah kenyataan yang sangat jauh dari janji politik saat kampanye.

Kedua, ketidakjelasan dan ketidaktegasan Jokowi dalam menangani persoalan konflik antara Polri dengan KPK yang tidak kunjung selesai. Konflik yang terus menerus terjadi, hingga berujung pada pelemahan sistematis dan semangat pemberantasan korupsi yang telah dibangun selama ini. Dua institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi contoh penegakan hukum, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum, menunjukkan keadaan sebaliknya. Tentu, para koruptor yang akhirnya bertepuk tangan, berpesta pora, merayakan kemenangan atas robohnya institusi penegak hukum dan pemberantasan korupsi di negara ini.

Ketiga, ketidakhati-hatian telah menjadi tabiat Jokowi. Entah karena sering khilaf atau memang tidak berdaya atas aksi pihak berkepentingan disekitarnya. Jika kita menyimak satu semester pemerintahan ini, banyak kejadian yang tampak janggal.Terus menerus rakyat ditunjukkan dengan ketidaksamaan antara kata dan perbuatan presiden.

Pernah suatu ketika dalam panen raya, Jokowi menyampaikan bahwa tidak akan melakukan impor beras, namun hanya selang beberapa waktu kemudian, di tempat yang berbeda Jokowi malah menandatangani instruksi presiden yang mengizinkan impor beras. Sesungguhnya, ada apa dengan pemerintahan ini?

Jokowi menyatakan bahwa dirinya kecolongan atas keluarnya Perpres tentang kenaikan DP pembelian kendaraan bagi pejabat negara. Setelah mendapat kecaman publik, akhirnya perpres tersebut dibatalkan. Lantas, bagaimana mungkin, seorang presiden sembrono menandatangai peraturan yang ia sendiri belum membaca atau tidak memahami isinya? Bagaimana jika ternyata kebijakan tersebut berisi tentang sesuatu yang sangat membahayakan keutuhan NKRI?

Apa artinya Jokowi menyampaikan pidato didepan pimpinan-pimpinan dan delegasi negara dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) dengan pesan semangat penolakan terhadap kendali dan dominasi negara maju terhadap negara berkembang, dan tidak bergantung kepada lembaga keuangan Internasional seperti Bank Dunia, IMF dan ADB, sementara dengan bangga melakukan hutang besar-besaran dengan China? Ibarat pepatah, keluar mulut harimau, masuk mulut buaya. Wajar saja,  pidato yang menggetarkan itu, hanya sekedar kalimat yang disusun apik oleh tim kepresidenan. Sebuah dokumen negara yang sengaja di bocorkan.

Beberapa hari ini juga, Jokowi harus disibukkan untuk membuat penjelasan tentang status hutang dengan IMF. Setelah koreksi yang diberikan oleh SBY dalam media sosial. Kondisi yang aneh ketika menteri, wakil presiden, dan presiden saling menegasikan dalam membuat penjelasan. Siapakah yang memberikan data dan informasi yang salah kepada Jokowi? Sehingga presiden harus mempermalukan diri di depan rakyatnya?

Rendahnya penilaian rakyat terhadap pemerintah harus menjadi catatan serius. Jokowi harus mulai membaca keadaan yang sebenarnya. Jangan hanya mendengarkan ABS (Asal Bapak Senang). Lihatlah kenyataan yang terjadi. Rakyat semakin sengsara, beban hidup makin tinggi, dan harga-harga makin tidak terbeli. Kepercayaan rakyat kepada pemerintah semakin melorot. Jangan biarkan rakyat bertambah marah, segera berbenah, karena kesabaran ada batasnya. [***]

Budiyanto
Direktur Sekolah Kepemimpinan Bangsa

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA