Masih segar dalam ingatan kita beberapa peristiwa penyiksaan hingga pembunuhan yang dialami saudara-saudara kita yang berprofesi sebagai pemburu berita.
Sebut saja Ridwan, kontributor Sun TV tewas teraniaya saat meliput bentrok antarwarga di Tual, Maluku Tenggara. Selanjutnya, wartawan Merauke TV ditemukan tewas mengambang di sebuah sungai di Merauke setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya. Hasil otopsi menunjukkan adanya indikasi penganiayaan.
Lalu, seorang wartawan di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, mendapatkan teror akibat berita yang ditulisnya tentang pembalakan liar. Di Tangerang, wartawan Global TV dan Indosiar diancam akan dibakar hidup-hidup ketika sedang meliput kasus pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik.
Demikian sedikit gambaran mengenai pengekangan kemerdekaan pers pada momentum hari pers nasional tahun ini.
Oleh karena itu, pada momentum hari pers nasional, kita sebagai insan pers harus menuntut ke negara untuk melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan tugasnya. Juga dari kesadaran semua pihak untuk menyelesaikan keberatan atas pemberitaan media secara beradab dan nir-kekerasan. Keselamatan wartawan masih masalah serius di Indonesia.
Faktor yang menonjol adalah lemahnya perlindungan negara terhadap profesi wartawan. Pemerintah juga lamban merespon tindakan kekerasan yang terjadi, bahkan dalam beberapa kasus cenderung membiarkan. Kadaluwarsanya kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas, Yogyakarta, contoh tak terbantahkan di sini.
Selain rentan dengan kekerasan, profesi wartawan juga jauh dari sejantera. Jika berdasar pada upah layak wartawan, gaji atau honor untuk wartawan pemula Rp3,5 - 4 juta. Setelah 2 tahun, naik Rp 6 juta dan seterusnya disertai dengan jaminan kesehatan, asuransi kecelakaan dan premi pendidikan jika wartawan tersebut mau melanjutkan jenjang pendidikan sesuai dengan kebutuhan kantor media terkait.
Upah, sebaiknya juga disesuaikan dengan wilayah kerja wartawan, apakah itu di kepulauan, daerah terpencil atau tempat-tempat tertentu yang mengeluarkan ongkos lebih, atau tempat-tempat yang memang harga-harga kebutuhan pokok dan transportasi di atas rata-rata.
Umumnya, jurnalis sama-sama mencari berita, dan gajinya pun harusnya seragam berdasarkan pada kebutuhan hidup layak. Tapi, pada kenyataannya berbeda antara elektronik dan online. Sesuai kebutuhan dan kebijakan, kantor media harusnya berpijak pada upah layak wartawan.
Atas ketidakjelian pemerintah itu, kami Poros Wartawan Jakarta mendesak pemerintah segera menetapkan dan mengesahkan upah layak wartawan dan jaminan asuransi kesehatan bagi wartawan secara nasional. Wartawan dalam UU di akui sebagai buruh, tanggung jawab terhadap jaminan kesehatan dan kesejahteraan tidak lagi semata-mata menjadi tanggung jawab perusahaan media, tetapi juga tanggung jawab negara. Insan pers sebagai warga negara yang mempunyai fungsi menjalankan pelaksanaan pilar demokrasi, layak mendapat jaminan untuk meningkatkan kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan.
Ada lebih dari 50 jenis komponen hidup layak (KHL) dan itu tidak sebanding dengan upah yang di peroleh jurnalis saat ini. 50 jenis KHL itu berdasarkan kebutuhan yang ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja.
Tapi setidaknya sejumlah kebutuhan di bawah ini seharusnya bisa menjadi ukuran upah layak yang harusnya bisa diterima wartawan. Sandang (3 -4 bln sekali belanja pakaian, sepatu dll), - Papan ( tetap, sewa, Kontrak ), - Pangan ( lauk pauk sederhana min. 15 rb 3 x sehari x 30 hari),- Pulsa Rp.100,- / bln (min..), - Hiburan ( Nonton 1 x sebulan, piknik ) , - service kendaraan ( Min. Rp. 200 rb ,- / bln, - lain-lain ( parfum, acesoris dll), termasuk biaya polis asuransi.
Walaupun sulit mengukurnya antara wartawan asing dan indonesia, karena belum ada data yang kuat. Tetapi indonesia tak kalah bagus dan militannya jika dibandingkan dengan media atau wartawan asing.
Wartawan Indonesia tidak kalah mutu. Hanya beda di lokal dan asing saja. justru terkadang yang membuat gak bermutu itu pemilik medianya yang mengarahkan wartawan nya jadi media berpihak atau By Order dan tentunya media asing punya dukungan penuh terkait pembiayaan, kelengkapan wartawan dalam peliputan dan media asing lebih meghargai karya-karya jurnalistik ketimbang media media nasional.
Terkait tahun politik, jangan pula negara dengan kekuasaannya mengatur Media untuk menjadi corong bagi keberhasilan-keberhasilan pemerintah yang hanya menguntungkan bagi partai penguasa. Termasuk para pemilik media yang berpolitik untuk menjaga agar medianya tetap netral dan tidak memperalat medianya sebagai pendongkrak popularitasnya. Porsi yang sama juga harus diberikan bagi calon lainnya yang bertarung di 2014
.[***]Penulis adalah Bambang Ali Priambodo,
Ketua Poros Wartawan Jakarta (PWJ).
BERITA TERKAIT: