Fatwa tersebut ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI MUI pada 23 November 2025.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa pihaknya telah bertemu dengan MUI untuk melakukan klarifikasi.
Menurut Bimo, persoalan PBB yang dimaksud dalam fatwa tersebut berada dalam kewenangan pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.
"Kita juga sudah diskusi dengan MUI sebelumnya. Jadi nanti coba kita tabayyun dengan MUI. Karena sebenarnya yang ditanyakan itu PBB-P2 perdesaan perkotaan dan pemukiman itu di daerah," kata Bimo di Komplek Parlemen, Jakarta, dikutip Rabu 26 November 2025.
Bimo menegaskan bahwa seluruh ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mulai dari kebijakan, tarif, hingga dasar pengenaan sepenuhnya sudah diserahkan kepada pemerintah daerah.
"PBB kan sebenarnya undang-undangnya sudah diserahkan ke daerah. Jadi, kebijakan, tarif, kenaikan dasar pengenaan, semuanya di daerah," tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa PBB yang menjadi kewenangan pemerintah pusat hanyalah PBB untuk objek-objek usaha, seperti sektor pertambangan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. Bukan untuk rumah tinggal atau bangunan yang dihuni masyarakat umum.
Selain itu, Bimo menegaskan bahwa kebutuhan pokok masyarakat seperti sembako tidak pernah menjadi objek pemungutan pajak oleh DJP.
"Memang kalau barang seputar kebutuhan dasar masyarakat memang tidak pernah dikenakan, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN)nya itu kan 0 persen," urainya.
Fatwa tentang Pajak Berkeadilan yang diterbitkan MUI menyebutkan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tidak layak dikenakan pajak secara berulang.
Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, KH Asrorun Ni'am Sholeh, menyatakan bahwa fatwa tersebut hadir sebagai respon terhadap keluhan masyarakat terkait kenaikan PBB yang dianggap tidak adil dan menimbulkan keresahan.
"Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi," kata Prof. Ni'am dalam Munas XI MUI.
BERITA TERKAIT: