Anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini, menilai klarifikasi istana diperlukan untuk memberi kepastian dan menenangkan masyarakat yang terganggu isu ini.
“Substansi yang lebih mendasar bukanlah soal serah-terima fisik data, melainkan akses, kontrol, dan arah kebijakan strategis terhadap data pribadi warga negara di era digital,” katanya seperti dikutip redaksi, Selasa, 29 Juli 2025.
Amelia memandang hubungan WNI dengan penyedia layanan global seperti iPhone, Mastercard, Visa, Meta, Google, berlangsung dalam skema bisnis business to consumer (B2C), yang tunduk pada prinsip kerahasiaan data, perlindungan privasi, dan persetujuan terbatas.
“Ketika sebuah perusahaan diminta membuka data oleh pihak ketiga, termasuk pemerintah, maka dibutuhkan dasar hukum dan consent yang sah dari pengguna,” katanya.
Yang menjadi perhatian adalah apabila kesepakatan tarif Indonesia–Amerika Serikat melibatkan bentuk kerja sama data sharing antarnegara (government to government).
Jika benar, maka itu adalah lompatan besar yang belum sepenuhnya dibahas secara terbuka, apalagi disertai infrastruktur perlindungan yang memadai.
Dalam kerangka UU No. 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP), transfer data lintas negara hanya diperbolehkan jika negara penerima memiliki tingkat perlindungan data yang setara.
“Bagaimana mekanisme turunan PP dan Permen dari UU PDP untuk perlindungan data ini. Bagaimana amanat UU PDP terkait Badan/Otoritas yang mengatur PDP? Apakah sampai dibentuk masih dibawah wewenang Komdigi? Ini harus clear,” tukasnya.
Legislator Partai Nasdem itu menghormati upaya pemerintah dalam membangun kerja sama internasional yang menguntungkan. Namun, hak-hak dasar warga negara tidak boleh dinegosiasikan sebagai bagian dari paket dagang.
“Kedaulatan data bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal martabat bangsa dan kepercayaan publik,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: