Gugatan tersebut dilayangkan pemantau pemilu dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Brahma Aryana.
"Prakarsa ini merupakan respons esensial terhadap Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang kami pandang berpotensi mengaburkan amanat konstitusi dan merugikan hak-hak konstitusional warga negara," ujar Brahma kepada
Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Sabtu, 19 Juli 2025.
Secara spesifik, gugatan tersebut untuk menguji Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 Ayat (1) UU 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
Ketentuan-ketentuan yang digugat itu telah diubah oleh Putusan MK 135/2024. Ia meyakini isinya bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental yang terkandung dalam UUD 1945.
"(Di antaranya) Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," urainya.
Lebih lanjut, ia menegaskan Putusan MK 135/2024 yang mengamanatkan
pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu antara 2 hingga 2,5 tahun berpotensi menimbulkan perubahan signifikan dalam sistem demokrasi Indonesia.
"Secara substantif, putusan ini menciptakan norma hukum baru yang setara UU, sehingga memiliki dampak konstitusional yang fundamental dan wajib diuji kembali jika menimbulkan kerugian konstitusional nyata bagi warga negara dan pemilih," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: