Guru Besar Unsyiah: Mendagri Tito Hadirkan Kekerasan Simbolik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Sabtu, 14 Juni 2025, 21:11 WIB
Guru Besar Unsyiah: Mendagri Tito Hadirkan Kekerasan Simbolik
Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof Dr Ahmad Humam Hamid/Net
rmol news logo Keputusan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memindahkan kepemilikan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara (Sumut) menuai kritik tajam. 

Keempat pulau itu yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek/Kecil, dan Pulau Mangkir Gadang/Besar.

Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof Dr Ahmad Humam Hamid menilai, kebijakan tersebut tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menghadirkan luka simbolik yang mendalam bagi masyarakat Aceh.

"Masyarakat tidak hanya berurusan dengan kekerasan fisik. Tapi kekerasan simbolik itu jauh lebih berbahaya," ujar Humam dalam podcast Hersubeno Point dikutip Sabtu malam 14 Juni 2025.  

Humam berpandangan bahwa, pendekatan yang dilakukan Mendagri Tito Karnavian dalam polemik ini justru mencerminkan ketidakpekaan terhadap realitas historis dan kultural masyarakat setempat. Sehingga, Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138/2025 melukai masyarakat Aceh. 

"Jadi apa yang kita lihat gaya Kemendagri, saya minta maaf saya harus ngomong ini, pendekatan Pak Tito apakah sengaja apakah buru-buru itu menghadirkan kekerasan simbolik. Dan itu membuat sakit hati. Karena apa? Karena dia tidak merasakan ada kerangka historis dan sensitif terhadap narasi lokal," tegasnya.

Menurut Humam, tak perlu mengacu perjanjian Helsinki; kesepakatan yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, yang menjadi tonggak penting dalam mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun di Aceh.

Humam menyebut bahwa jika dilakukan survei diam-diam terhadap tokoh-tokoh nelayan dari Sibolga sampai ke Singkil, mereka akan mengakui bahwa pulau-pulau tersebut secara historis adalah bagian dari Aceh.

"Kita enggak usah ngomong Helsinki, kita ngomong saja realitas sosiologis bahwa kalau kita buat survei hari ini diam-diam kepada tetua nelayan dari Sibolga sampai ke Singkil Tapanuli Tengah itu mereka mengakui tanah itu kepulauan itu milik Aceh. Itu historis," kata Humam.

Lebih jauh, Humam pun mempertanyakan narasi sejarah yang disampaikan Mendagri Tito bahwa persoalan kepemilikan pulau sudah menjadi perdebatan jauh sebelum Indonesia merdeka, antara Residen Belanda Aceh dan Residen Tapanuli pada tahun 1928.

"Ini berbahaya sekali, ketika Pak Tito mengarang-ngarang bahwa pulau itu sudah menjadi debat sebelum 1928 antara Residen Belanda Aceh dengan Residen Tapanuli. Saya enggak habis pikir, seorang lulusan hebat dari Rajaratnam School, PhD gak main-main, kok mau-maunya mengarang cerita,” sesal Humam. 

Menurutnya, pada tahun 1928, kondisi Aceh masih dalam situasi perang dan berada langsung di bawah kekuasaan militer Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, bukan pemerintahan sipil seperti wilayah lain.

"Kalau kita buka arsip nih ya pada saat itu tahun 1928 itu perang itu belum selesai di Aceh. Ketika yang namanya Tapanuli sudah 'di bawah Belanda' ini maaf bukan menyinggung, Aceh itu masih perang. Dan di Aceh itu penguasa militer bukan penguasa sipil," demikian Humam.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA