Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia, Abdul Chair Ramadhan, dalam sebuah pernyataan pandangan hukum (legal opinion) yang bagi dia dinilai penting untuk diketahui publik.
Menurut Abdul Chair, rangkaian dugaan pelanggaran tersebut meliputi penyalahgunaan program dan kegiatan Pemda untuk pemenangan Paslon 01, pelibatan Aparatur Sipil Negara, praktik politik uang, kampanye terselubung, serta intimidasi dan persekusi.
“Bahwa, terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh petahana, tindakan demikian adalah jelas bertentangan dengan kewajibannya, bertentangan dengan hak orang lain dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Abdul Chair kepada wartawan, Selasa 22 April 2025.
Dia menyampaikan, bahwa praktik politik uang yang diduga dilakukan oleh petahana erat kaitannya dengan pelibatan ASN dan pemanfaatan fasilitas pemerintah.
“Ditinjau dari aspek hukum pidana, perbuatan yang dilakukan tersebut terkualifisir sebagai bentuk kesengajaan dengan maksud. Baik perbuatan maupun akibatnya diketahui dan dikehendaki. Di dalamnya terkandung itikad tidak baik dan bersifat melawan hukum,” katanya.
Atas dasar pelanggaran yang berulang tersebut, Abdul Chair menilai Pemungutan Suara Ulang (PSU) tidak lagi relevan dan justru mencederai asas keadilan serta kepastian hukum.
Ia pun mendorong Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan peraih suara terbanyak kedua sebagai pemenang dalam Pilkada Banggai tanpa perlu melalui PSU.
“Mahkamah Konstitusi sepatutnya langsung memutuskan pihak yang memperoleh suara terbanyak kedua sebagai pemenang pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Banggai. Demikian pula pada perkara serupa,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: