AS menilai arah kebijakan sistem pembayaran dan pengembangan QRIS menunjukkan kecenderungan protektif dan semakin tertutup terhadap pelaku usaha global.
Jansen menegaskan pentingnya menjaga dan mempertahankan QRIS sebagai bagian dari kedaulatan ekonomi nasional. Ia menilai, transaksi domestik adalah urusan internal Indonesia yang tak pantas dicampuri pihak asing.
“Jadi tidak pantas negara lain ikut campur,” kata Jansen seperti dikutip redaksi melalui akun X miliknya, Selasa 22 April 2025.
Menurutnya QRIS yang kini telah menjangkau hingga ke pelosok kabupaten, harus dipertahankan sebagai tulang punggung sistem transaksi nontunai nasional.
Kata Jansen, keberadaan QRIS sangat vital, khususnya bagi sektor ritel, UMKM, dan transaksi harian bernilai kecil hingga menengah.
Ia menyebut sistem ini menjadi penopang utama konsumsi masyarakat, yang sekaligus menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.
"Soal ini diganggu bisa roboh kita," tegasnya.
Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga Oktober 2024 terdapat 54,1 juta pengguna QRIS dengan 34,7 juta merchant. Mayoritas adalah pelaku UMKM.
Sepanjang 2023, volume transaksi QRIS mencapai 1,7 miliar transaksi dengan nilai Rp204,8 triliun. Tren ini menunjukkan peningkatan yang konsisten dan menjanjikan.
"Jadi mari kita jaga dan pertahankan kedaulatan transaksi dan ekonomi dalam negeri kita dengan mempertahankan QRIS ini," pungkas Jansen.
Amerika Serikat (AS) mengkritik kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait sistem pembayaran berbasis QR nasional atau QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).
Kritik ini dimuat dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE) yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).
Dalam laporan tersebut, AS menyoroti kurangnya keterlibatan pihak internasional, khususnya pelaku usaha asal Paman Sam, dalam proses penyusunan kebijakan QRIS.
BERITA TERKAIT: