Begitu dikatakan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Nasional Prof. Basuki Rekso Wibowo dalam forum Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Aspek Krusial RKUHAP: Perubahan, Dampak, dan Implementasi” di Jakarta.
Kecenderungannya, dalam pandangan Basuki, masing-masing institusi akan berusaha untuk memperkuat kedudukan dan memperluas kewenangannya sendiri agar dinormakan dalam KUHAP yang baru.
"Kerapkali dalam situasi demikian akan menimbulkan irisan kewenangan bahkan ‘kanibalisasi’ kewenangan institusi tertentu dengan institusi yang lain," kata Basuki dalam keterangan tertulis, Selasa 11 Maret 2025.
Smenetara Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Prof. Eva Achjani Zulfa menjabarkan bahwa pembagian peran dalam KUHAP harus jelas aturan mainnya. Agar tidak ada kekhawatiran masalah kewenangan, dan pembagian peran sesuai tupoksi lembaga penegak hukum.
“KUHAP pada dasarnya adalah game role (aturan main) bagaimana satu penanganan perkara pidana itu ditangani," katanya.
Secara teoritis, dijelaskan Eva, kalau kita melihat HIR (Herzien Inlandsch Reglement), dikenal crime control model system (proses penanganan perkara yang cepat) sehingga makin cepat penanganan perkara makin baik.
Tetapi ada kejelekannya, dilanjutkan Eva, ketika balancing system tidak ada yang ada adalah rekayasa bukti karena tidak ada mekanisme kontrol.
"Inilah kenapa KUHAP kita sering disebut menganut due processs model yang sangat menghormati HAM. Implikasinya adalah penanganan perkaranya lama bahkan ada yang digantung. Sehingga yang sekarang berkembang adalah bureaucratic model teory,” jelasnya.
Lebih lanjut, Prof Eva menduga di tengah model Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang sudah semakin berkembang ke arah yang lebih baik, justru terdapat salah satu lembaga yang ingin mengembalikan seolah-olah model penanganan perkara pidana Kembali seperti HIR.
“Padahal sekarang sudah berkembang jauh. Kita bicara tentang bagaimana model penyelesaian perkara pidana yang memang adil bagi pelaku dan adil juga buat korban. Sementara dalam draft RKUHAP sekarang proses penanganan perkara sangat membingungkan," tuturnya.
"Sebagaimana tertulis di Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 yang menyebutkan bahwa penuntut umum sudah mulai aktif sejak awal laporan bukan hanya sejak penyidikan. Pola pikir semacam ini yang menganggap bahwa penyidik kualitas SDMnya kalah dengan penuntut umum adalah pola pikir yang terjadi pada waktu HIR,” demikian Eva.
BERITA TERKAIT: