Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sanksi Peringatan Keras DKPP Buka Pintu Pidana Bagi KPU Papua

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Kamis, 06 Februari 2025, 20:57 WIB
Sanksi Peringatan Keras DKPP Buka Pintu Pidana Bagi KPU Papua
Bambang Widjojanto dalam sidang sengketa Pilkada di MK/Ist
rmol news logo Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan pada Rabu, 5 Februari 2025 telah memutuskan perkara Sengketa Pemilihan Gubernur Papua 2024 dilanjutkan, untuk pembuktian dengan agenda pemeriksaan ahli, saksi dan alat bukti lainnya. 

Bambang Widjojanto selaku kuasa hukum Pemohon perkara Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 yang diajukan pasangan calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Papua nomor urut 2, Mathius D Fakhiri- Aryoko Rumaropen menjelaskan, dalam sidang pembuktian pihaknya telah memiliki materi yang akan dibahas kepada Hakim Konstitusi. 

"Tidak hanya proses di MK yang akan terus berlangsung dan ditunggu seluruh rakyat di Papua saja, tapi ada proses lain yang juga akan dipersoalkan," ujar Bambang dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6 Februari 2025.

Dia mengungkap, ada putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang membuktikan salah satu pelanggaran yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua. 

"Persyaratan calon yang menggunakan surat yang diduga palsu, seolah sebagai surat yang sah atau benar yang digunakan Calon Wakil Gubernur Papua Yermias Bisai, sepertinya tidak berhenti di DKPP saja. Pasalnya, fakta-fakta yang terungkap dalam Putusan DKPP membuka pintu proses pidana bagi KPU Papua dan Pihak lain yang terlibat," urainya. 

Advokat yang pernah menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menyatakan, Putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua dan Anggota KPU Papua bukan hanya membuktikan KPU Papua telah melanggar peraturan perundangan, tetapi juga sekaligus meruntuhkan argumentasi Bawaslu Papua yang selama ini menolak semua laporan pelanggaran yang diadukan dengan dalih tidak terbukti, tidak memenuhi unsur pelanggaran dan sebagainya. 

"Sekarang sudah ada Putusan DKPP, dan dalam putusannya dikatakan KPU Papua terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar perundang-undangan berkaitan dengan dokumen persyaratan yang digunakan KPU Papua meloloskan Calon Wakil Gubernur Yermias Bisai," katanya menegaskan. 

Lanjut Bambang, setidaknya terdapat 3 substansi penting dari delik pidana di putusan DKPP. Pertama, menggunakan Suket Tidak Sedang Dicabut Hak Pilihnya Nomor 539, dan Suket Tidak Pernah Sebagai Terpidana Nomor 540 atas nama Yermias Bisai sejak masa pendaftaran, padahal kedua Suket tersebut bukan dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri yang berwenang.  

Kemudian kedua, Bambang menyebut Suket 539 dan 540 tersebut juga bukan dokumen yang benar dan sah dari Pengadilan Negeri Jayapura alias palsu. Ketiga, KPU Papua telah bertindak tidak berkepastian hukum, karena terbukti telah menerima dan menggunakan dua Suket baru Nomor 844 dan 845 yang diterbitkan tanggal 19 September 2024 di luar program, tahapan dan jadwal. 

"Dua dokumen ini selanjutnya digunakan sebagai dasar menetapkan Paslon BTM dan Yermias Bisai sehingga juga sebagai tindakan yang bertentangan dengan perundang-undangan," sambungnya memaparkan. 

Bambang menegaskan, DKPP adalah lembaga penegak etik perilaku penyelenggara dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang melekat pada jabatannya,  sehingga Putusan DKPP ini sekaligus mengkonfirmasi adanya penyalahgunaan jabatan oleh komisioner Papua. 

"Nah, dalam konteks inilah Putusan DKPP menjadi pintu masuk delik pidana, karena pelanggaran yang dilakukan KPU Papua dan Pihak lainnya, bukan sekedar pelanggaran administrasi dan etik tetapi juga dikualifikasi sebagai pelanggaran pidana pemilihan", sebut Bambang. 

Mantan Wakil Ketua KPK ini selanjutnya menerangkan bahwa delik pidana yang dilakukan komisioner Papua diatur dalam Pasal 180 ayat (2) UU 10/2016 yang pada pokoknya menyatakan; "Setiap orang yang karena jabatannya dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum meloloskan calon dan/atau Pasangan Calon yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan denda paling sedikit Rp. 36.000.000.000 dan paling banyak 96.000.000.000". 

Menurut Bambang yang juga ahli Pidana ini, norma di atas sangat jelas dan dari Putusan DKPP terlihat unsur-unsur pelanggaran pidana oleh KPU Papua telah terpenuhi secara sempurna yaitu; unsur menggunakan jabatannya, unsur melawan hukum serta unsur meloloskan calon dan/atau pasangan calon yang tidak memenuhi syarat, Jadi unsur pidananya telah terpenuhi dengan lengkap dan sempurna, tegasnya lagi. 

Menurut BW sapaan akrabnya, terkait pidana ini bolanya ada di Bawaslu dan Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Karenanya ia berharap Bawaslu Papua sejatinya tidak perlu menunggu ada laporan, tetapi seharusnya berinisiatif menjadikan Putusan DKPP sebagai temuan. 

"Karena inilah ruh dari tugas dan wewenang Bawaslu sebagaimana pengawas pemilihan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bawaslu No. 8 Tahun 2020 atau yang telah diubah dengan Perbawaslu 9/2024 tentang Penanganan Pelanggaran maupun Perbawaslu 6/2024 tentang Pengawasan Dalam Pilkada," ungkapnya. 

Lebih lanjut, Bambang memandang jika Bawaslu bersikap pasif atas Putusan DKPP tersebut, maka potensial dipersoalkan karena bersikap diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

"Kami mengingatkan agar unsur kepolisian dan kejaksaan dalam Gakkumdu juga harus mengambil peran penting sebagai garda terdepan dalam penanganan pelanggaran pidana, jangan justru keberadaannya menjadi unsur yang melemahkan penegakan hukum, ini bisa merusak kredibilitas kepolisian dan kejaksaan secara institusional," demikian BW menambahkan. rmol news logo article
EDITOR: JONRIS PURBA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA