Hal itu disampaikan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi dalam menyikapi persoalan di BIN.
Menurutnya, BIN memiliki tugas yang cukup kompleks mulai dari pengumpulan informasi hingga analisis ancaman yang dapat membahayakan kedaulatan negara. Dalam menjalankan fungsi tersebut, keberagaman perspektif dalam struktur organisasi di BIN sangat penting.
Khairul Fahmi mengurai sejarah menunjukkan bahwa BIN pernah memiliki komposisi yang seimbang antara elemen sipil, militer, dan kepolisian, di mana para aparatur sipil negara yang kompeten ikut memainkan peran kunci dalam pengambilan keputusan.
Sebaliknya, kata Khairul Fahmi, BIN di beberapa tahun belakangan mengalami pergeseran dari segi fungsinya.
“Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terlihat pergeseran yang cukup signifikan, di mana dominasi figur-figur dari luar organisasi semakin mencolok,” kata Khairul Fahmi kepada
Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Kamis, 9 Januari 2025.
Ia menilai tantangan itu harus dihadapi Herindra sebagai kepala BIN untuk mengubah tatanan BIN ke depan.
“Hal ini menimbulkan tantangan bagi Herindra untuk mengembalikan keseimbangan tersebut dan mengoptimalkan potensi semua elemen yang ada di BIN,” ucapnya.
Pihaknya menambahkan, salah satu tantangan terdekat yang harus dihadapi adalah mengelola dinamika internal organisasi, yang mungkin telah terbiasa dengan kultur dan struktur saat ini.
Pengalaman Herindra dalam mengelola organisasi Kementerian Pertahanan diharapkan dapat menjadi aset berharga dalam menghadapi tantangan ini.
“Kunci keberhasilan terletak pada kemampuannya untuk mendorong kolaborasi dan komunikasi yang baik di antara semua unsur BIN, baik itu dari kalangan militer, kepolisian, maupun sipil,” tutupnya.
Di 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, BIN sempat dipimpin Letjen TNI (Purn) Sutiyoso selama 2 tahun, sisanya BIN dipimpin Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan alias BG.
BERITA TERKAIT: