Hal itu disampaikan Ketua Umum Cendekia Muda Nusantara (CMN) Afan Ari Kartika saat menanggapi isu yang bergulir usai Pilkada 2024.
Menurut Afan, langkah tersebut tidak hanya bertentangan dengan semangat reformasi 1998, tetapi juga dapat merusak sistem birokrasi dan demokrasi yang telah dibangun selama dua dekade terakhir.
Ia menegaskan bahwa usulan untuk menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri merupakan langkah mundur yang mengingkari semangat Reformasi 1998. Reformasi berujung pada keluarnya TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, yang menjadi landasan konstitusional bagi pemisahan Polri dari TNI.
Langkah pemisahan ini bertujuan untuk memastikan adanya peran yang jelas antara aparat sipil (Polri) yang bertugas menjaga keamanan dalam negeri, serta aparat militer (TNI) yang bertugas menjaga pertahanan negara.
“Reformasi ini adalah tonggak sejarah penting bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Wacana untuk mengembalikan Polri di bawah TNI atau Kemendagri adalah sebuah langkah mundur yang mengingkari semangat reformasi. Ini bukan hanya akan mencederai prinsip demokrasi, tetapi juga mengarah pada kebangkitan kembali pendekatan militeristik yang telah kita tinggalkan,” ujar Afan dalam keterangan yang diterima redaksi, Minggu, 1 Desember 2024.
Pemisahan Polri dan TNI yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menurutnya, adalah sebuah pencapaian penting dalam pembentukan negara hukum yang demokratis.
Afan juga menyoroti potensi buruk yang bisa muncul jika Polri ditempatkan di bawah Kemendagri. Meskipun usulan ini dianggap lebih rasional dibandingkan dengan menempatkan Polri di bawah TNI, langkah ini tetap berisiko merusak reformasi birokrasi yang sudah berjalan dengan cukup baik dalam dua dekade terakhir.
“Struktur di Kemendagri sudah cukup kompleks, dengan berbagai direktorat jenderal yang menangani urusan dalam negeri. Jika Polri ditempatkan di bawah Kemendagri, ini akan menambah panjang rantai birokrasi yang justru bisa menciptakan masalah baru dalam pengelolaan anggaran dan sumber daya manusia,” jelasnya.
Salah satu dampak yang dapat terjadi adalah masalah penganggaran. Proses penganggaran akan lebih panjang, karena anggaran Polri harus melalui Kemendagri sebelum disalurkan ke Polri.
“Proses yang lambat ini berpotensi menghambat operasional Polri dalam menjalankan tugas-tugasnya di lapangan,” tegas dia.
Selain itu, adanya penambahan hierarki birokrasi bisa mengurangi efektivitas dan fleksibilitas Polri dalam menghadapi dinamika kejahatan dan ancaman keamanan di Indonesia.
“Polri harus tetap menjadi lembaga yang mandiri dan efisien agar dapat dengan cepat merespons tantangan di lapangan,” imbuhnya.
Afan menyarankan agar fokus dikembalikan pada penguatan mekanisme pengawasan terhadap Polri yang sudah ada, alih-alih mengubah struktur kelembagaannya. Saat ini, ada beberapa saluran pengawasan yang dapat lebih efektif dioptimalkan. Pertama melalui Kemenko Polkam, memiliki peran penting dalam mengawasi kinerja Polri dalam menjaga ketertiban dan keamanan dalam negeri. Dengan koordinasi yang lebih intensif, pengawasan terhadap Polri dapat lebih terarah dan terukur.
Kedua, Ombsuman RI Sebagai lembaga yang mengawasi pelayanan publik, Ombudsman dapat memperkuat pengawasan terhadap Polri dalam hal pelayanan kepada masyarakat. Hal ini penting agar Polri tidak hanya efektif dalam menegakkan hukum, tetapi juga transparan dan bertanggung jawab.
Ketiga, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Pengawasan eksternal terhadap Polri harus diperkuat melalui lembaga Kompolnas. Afan menekankan perlunya Kompolnas diisi oleh figur-figur independen yang bebas dari pengaruh Polri agar bisa menjalankan tugasnya secara objektif dan efektif. Terakhir, pengawasan melalui Komisi III DPR yang dapat menjadi mitra kerja Polri juga harus lebih tegas dalam mengawasi kebijakan dan kinerja Polri.
Masih kata Afan, selama ini Komisi III belum maksimal dalam menjalankan peran pengawasannya terhadap Polri.
“Mereka seringkali hanya reaktif terhadap kasus-kasus besar, padahal pengawasan harus dilakukan secara berkelanjutan,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa masalah yang mendasari wacana pengembalian Polri di bawah TNI atau Kemendagri adalah dugaan ketidaknetralan Polri dalam Pilkada 2024. Namun, menurutnya, mengubah struktur kelembagaan Polri bukanlah solusi untuk masalah netralitas tersebut.
“Masalah netralitas Polri harus diselesaikan dengan memperkuat mekanisme pengawasan dan memberikan sanksi tegas terhadap aparat yang terbukti tidak netral. Pengembalian Polri di bawah TNI atau Kemendagri justru dapat menambah politisasi Polri dan mengancam independensinya,” tegasnya.
Afan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 136/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa Polri dan TNI harus bersikap netral dalam Pemilu. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan pedoman yang jelas, kendala terbesar tetap ada pada implementasinya di lapangan, yang sangat bergantung pada kemauan politik dan ketegasan internal Polri.
Afan mengajak seluruh elemen bangsa untuk menolak wacana tersebut demi menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Reformasi Polri yang telah berlangsung selama ini harus dilanjutkan untuk membangun lembaga kepolisian yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel.
“Indonesia telah lama berjuang untuk memisahkan Polri dari militer. Jangan biarkan semua pencapaian ini dihancurkan dengan kebijakan yang kontraproduktif. Fokus kita seharusnya bukan mengubah struktur kelembagaan, tetapi memperkuat pengawasan dan penegakan hukum di dalam tubuh Polri,” jelasnya lagi.
Pemisahan Polri dan TNI merupakan fondasi penting bagi demokrasi dan negara hukum di Indonesia. Polri harus tetap menjadi lembaga independen yang bertanggung jawab kepada Presiden, dengan pengawasan yang kuat dari berbagai pihak.
“Dengan reformasi yang berkelanjutan, Indonesia dapat memiliki Polri yang lebih profesional, yang tidak hanya mampu menegakkan hukum dengan adil, tetapi juga menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: