Mengutip Ketua Satgas Pemberantasan Judi Online Hadi Tjahjanto, disebutkan bahwa 2 persen pemain judi online di Indonesia adalah anak di bawah usia 10 tahun atau sebanyak 80.000 anak.
Kemudian, pemain di rentang usia 10-20 tahun sebanyak 440.000 atau sebesar 11 persen.
Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah, khususnya orang tua. Tidak terkecuali dokter spesialis tumbuh kembang anak Bernie Medise.
Kekhawatiran itu cukup beralasan. Kata Bernie, judi online memberikan dampak buruk bagi pemain yang sudah kecanduan, terlebih pada anak-anak.
"Secara logika, pada dewasa saja yang sudah mengenal judi online mereka banyak sekali yang tidak punya regulasi diri untuk menyetop," ujar Bernie dikutip Selasa (23/7).
Disampaikan Bernie, kasus-kasus pecandu judi online cenderung disusul dengan melakukan aksi menyimpang, seperti membakar, mencuri, merampok, membunuh, hingga bunuh diri.
Hal ini karena judi online memberikan efek adiktif yang memancing rasa ingin terus bermain.
Dengan dampak tersebut pada dewasa, kata Bernie, dampak yang terjadi pada tumbuh kembang anak lebih besar. Terlebih, karena perkembangan prefrontal korteks pada otak anak masih belum sempurna.
"Prefrontal korteks yang bertugas untuk menentukan ini baik/ini buruk/ini tidak boleh, itu baru berkembang di umur 20-an, 23-24 tahun," jelasnya.
Sehingga, masih kata Bernie, anak yang penasaran dan menganggapnya sebagai hiburan mendapatkan stimulus untuk mencoba akhirnya terjerumus dan terjerat judi online.
"Dan yang membahayakan lagi, waktunya terbuang, menjadi adiktif, kemudian waktu untuk belajar juga tidak ada, pengembangan dirinya berkurang," ungkapnya.
Oleh karena itu, orang tua wajib mencegah hal ini terjadi dengan memberikan pengawasan. Dalam hal ini, orang tua wajib membatasi waktu anak bermain gadget.
"Anak sebenarnya
screentime (waktu menggunakan gadget) harus dibatasi. Di bawah 18 bulan tidak boleh ada
screentime. Di atas itu hanya boleh maksimal 1 jam," tuturnya.
BERITA TERKAIT: