Meski terkesan akrab, keduanya membahas hal krusial mengenai pertumbuhan ekonomi nasional hingga stabilitas geopolitik.
Di depan Tony Blair, Airlangga membahas upaya mendorong tingkat inklusivitas keuangan, salah satunya melalui digitalisasi. Tentunya dengan mempertimbangkan kecukupan
resources yang dimiliki oleh Tony Blair Institute (TBI).
“Kita ingin mendorong agar digitalisasi sifatnya inklusif. Jadi tentu kita bicara mengenai infrastruktur digital,
data center, regulasi
Artificial Intelligent (AI), hingga
cyber security,” ujar Menko Airlangga.
Keduanya juga membahas seputar transisi energi, terutama terkait Just Energy Transition Partnership (JETPI), Asia Zero Emission Community (AZEC), hingga upaya merealisasikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Ibukota Nusantara (IKN) yang dipersiapkan sebesar 1,2 Gigawatt.
Hal lain, keduanya juga membahas isu geopolitik yang saat ini sedang mencuat di tengah ketidakpastian global lainnya. Konflik di kawasan Timur Tengah yang terjadi saat ini tentu menjadi permasalahan yang tidak diinginkan oleh berbagai negara, sehingga lebih memilih untuk menahan diri.
Bagi kepentingan Indonesia sendiri, stabilitas geopolitik diharapkan akan kian kondusif agar dapat memberikan dampak yang lebih baik terutama bagi kondisi perekonomian nasional.
“Pertama tentu kita harus jaga Indo-Pasifik menjadi kawasan damai, sehingga jika menjadi kawasan bebas konflik, maka pertumbuhan ekonomi bisa kita dorong," jelas Airlangga.
Dalam pertemuan tersebut, Airlangga turut didampingi Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Ferry Irawan; Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Dida Gardera; Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional, Edi Prio Pambudi; serta Staf Ahli Kemenko Perekonomian, Rizal Edwin Manansang dan Raden Pardede.
BERITA TERKAIT: