Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Next Policy, Grady Nagara dalam diskusi publik bertajuk “Salah Arah Kebijakan Makan Siang Gratis” yang diselenggarakan Next Policy di kawasan Cikini Jakarta Pusat pada Jumat (22/3).
“Secara teknokratis, rencana kebijakan tersebut masih sangat prematur karena minimnya riset dan keterlibatan para pakar," ujar Grady.
Grady menyoroti rencana kebijakan itu berpotensi pada impor pangan skala besar dan melemahkan ketahanan pangan Indonesia.
“Ketahanan pangan kita itu lemah. Bayangkan komposisi makan siang gratis bergantung pada komoditas seperti beras, daging, dan susu yang selama ini masih impor," kata Grady.
Menurut Grady, program makan siang gratis setidaknya menyasar 82,9 juta penerima manfaat. Sehingga per tahunnya butuh 6,7 juta ton beras, 1,2 juta ton daging ayam, 500 ribu ton daging sapi, dan 4 juta kiloliter susu.
"Potensi impor besar-besaran bisa terjadi jika desain kebijakan tidak mempertimbangkan dimensi diversifikasi pangan," kata Grady.
Senada dengan itu, peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Shofie Azzahrah menyoroti beban fiskal yang sangat besar jika kebijakan ini dipaksakan melalui skema APBN.
“Anggaran makan siang gratis mencapai maksimal Rp450 triliun per tahun. Angka ini bahkan melampaui anggaran ketahanan pangan dan kesehatan yang nilainya hanya Rp114,3 dan Rp187,5 triliun," kata Shofie.
Dari hitungan Shofie, program makan siang gratis akan menambah defisit anggaran sebesar Rp797 triliun. Angka defisit ini sendiri sudah ada di rasio defisit APBN terhadap GDP sebesar 3,81 persen.
"Tanpa skenario pembiayaan berkelanjutan, ini sangat berbahaya bagi kesehatan fiskal ke depan yang akan merugikan publik," lanjut Shofie.
BERITA TERKAIT: